“Jalan Sunyi Menuju Ketulusan dalam Industri Pariwisata dan Perhotelan”
“There is a difference between offering a service and being willing to serve. They may both include giving but only one is generous.” – Simon Sinek

Melampaui Sekadar Memberi
Dalam dunia perhotelan dan pariwisata yang serba cepat dan menuntut, banyak pelaku industri merasa telah melakukan yang terbaik saat mereka ‘memberikan layanan’. Namun, kutipan bijak dari Simon Sinek mengajak kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: Apakah kita sekadar melayani, atau kita benar-benar siap untuk meladeni dengan hati?
Dalam bahasa Jawa, ada dua kata yang sering digunakan untuk menggambarkan sikap terhadap pekerjaan: gawe (bekerja) dan nglakoni (menjalani dengan penuh rasa). Perbedaan keduanya mungkin tak tampak secara fisik, namun sangat terasa dalam makna. Gawé bisa dilakukan demi kewajiban atau imbalan. Nglakoni adalah pilihan batin. Ini bukan tentang apa yang dilakukan, tapi bagaimana dan dengan niat apa hal itu dilakukan.
Bab I: Spirit Ketulusan dalam Dunia Pelayanan
Melayani dalam industri ini bukanlah sekadar menyajikan teh hangat dengan senyum, atau menyambut tamu dengan sapaan sopan. Itu bisa diajarkan. Tapi menjadi seseorang yang willing to serve, yang siap meladeni, memerlukan kesadaran batin yang lebih dalam: yaitu ketulusan.
Pitutur Luhur Jawa mengatakan: “Sapa nandur, bakal ngundhuh.” Barang siapa menanam, dia pula yang akan memanen. Bila kita menanam pelayanan dengan pamrih, hasilnya seringkali hanya sekadar angka kepuasan. Tapi bila kita menanam pelayanan dengan niat tulus, hasilnya adalah reputasi, kepercayaan, dan relasi yang berumur panjang.
Bab II: Perbedaan yang Subtil, Tapi Mendasar
1. Offering a service adalah tindakan.
2. Willing to serve adalah sikap.
Yang pertama bisa dilatih oleh SOP, dikontrol dengan checklist, dan diukur dengan KPI.
Yang kedua berasal dari nilai-nilai pribadi, dibentuk dari pengalaman hidup, dan hanya bisa tumbuh dalam lingkungan kerja yang mendukung kebajikan.
“Success is not about the position you hold but the difference you make.”
– Michelle Obama
Jadi, dalam dunia hospitality, janganlah kita hanya menjadi pelaku layanan. Jadilah pembawa perubahan. Layanan sejati bukan hanya soal memperlakukan orang dengan baik, tapi bagaimana kita membuat mereka merasa dihargai, dimanusiakan.
Bab III: Tips & Trik Menumbuhkan Sikap “Willing to Serve”
1. Mulai dari Tujuan Personal
Tanyakan kepada diri sendiri: “Untuk apa aku bekerja di bidang ini?”
Bila jawabannya adalah karena cinta terhadap manusia, seni melayani, dan ingin menjadi jembatan kebahagiaan, maka Anda berada di jalur yang tepat.
2. Latih Empati Setiap Hari
Empati bukanlah sesuatu yang otomatis. Ia perlu dipupuk.
Trik praktis:
- Sebelum bertemu tamu, tarik napas dan bayangkan: “Kalau aku ada di posisi mereka, bagaimana aku ingin diperlakukan?”
- Buat jurnal kecil setiap hari tentang satu tamu yang berhasil Anda buat tersenyum—sekecil apa pun interaksinya.
3. Jangan Gampang Baper, Tapi Jangan Mati Rasa
Menjadi pelayan hati memerlukan kekuatan jiwa.
Pepatah Jawa mengajarkan: _”Aja dumeh, aja mung ngendelaké.”_
Jangan merasa paling tahu, dan jangan hanya mengandalkan SOP. Sensitivitas terhadap situasi, budaya, dan kebutuhan tamu adalah kunci.
4. Kembangkan Micro-Moments of Service
Momen kecil seperti mengucapkan “terima kasih” dengan mata yang tulus, membukakan pintu tanpa diminta, atau sekadar menyapa dengan nama tamu, memiliki dampak besar dalam menciptakan pengalaman yang berkesan.
Bab IV: Remedi dan Solusi bagi Lelahnya Jiwa Layanan
Dalam praktiknya, banyak pekerja hospitality mengalami burnout. Mereka merasa seperti mesin—dipaksa terus senyum, padahal hati lelah. Lalu bagaimana remedi-nya?
Remedi #1: Ingat bahwa Anda Berarti
Setiap orang yang Anda bantu, setiap tamu yang pulang tersenyum, adalah kontribusi pada dunia yang lebih baik.
“Service to others is the rent you pay for your room here on Earth.”
– Muhammad Ali
Remedi #2: Reconnect dengan Alam
Ambillah waktu untuk bersentuhan kembali dengan alam. Di Jember, misalnya, gumuk, pantai, dan pegunungan bukan hanya lanskap. Mereka adalah pengingat akan keheningan, ketenangan, dan kedalaman hidup.
Remedi #3: Komunitas dan Rasa Memiliki
Bangun komunitas internal yang saling mendukung. Lingkungan kerja yang sehat memampukan seseorang untuk meladeni tanpa merasa dimanfaatkan.
Bab V: Meladeni sebagai Jalan Kepemimpinan
Sikap melayani bukan hanya milik staf garis depan. Bahkan, pemimpin sejati adalah mereka yang mendahulukan pelayanan.
“Leaders eat last.” – Simon Sinek
Dalam pitutur luhur, ada filosofi: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.”
Artinya, pemimpin di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.
Maka, bila Anda seorang manajer hotel, kepala dapur, atau GM resort, pertanyaannya bukan lagi: “Berapa yang saya peroleh dari tim saya?” Tapi: “Apa yang sudah saya berikan kepada tim saya agar mereka bisa melayani dengan hati?”
Bab VI: Workshop Life – Latihan untuk Jiwa Melayani
Berikut beberapa aktivitas pelatihan yang bisa dilakukan dalam workshop:
A. Latihan “Siklus Kehidupan Tamu”
- Buat skenario lengkap perjalanan tamu dari check-in hingga check-out.
- Minta peserta menuliskan “momen-momen rawan kehilangan ketulusan”.
- Diskusikan cara mengubah momen itu menjadi pengalaman bermakna.
B. Sesi Refleksi “Niat dan Dampak”
- Peserta menuliskan tiga alasan mengapa mereka bekerja di industri ini.
- Lalu mereka menuliskan tiga hal yang tamu rasakan setelah berinteraksi dengan mereka.
- Bandingkan: Apakah niat dan dampak sudah selaras?
C. Aktivitas “Ngopi Hati”
- Duduk dalam kelompok kecil.
- Ceritakan satu pengalaman pelayanan terbaik yang pernah dilakukan atau diterima.
- Renungkan nilai yang terkandung di dalamnya.
Jalan Sunyi yang Tidak Selalu Dipuji, Tapi Selalu Bermakna
Menjadi orang yang benar-benar willing to serve bukanlah jalan populer. Tak selalu dihargai. Kadang malah dianggap remeh. Tapi itulah jalan yang membentuk karakter, membangun reputasi, dan menanam karma baik yang mendalam.
“Happiness doesn’t result from what we get, but from what we give.” – Ben Carson
Dalam dunia pariwisata dan perhotelan, marilah kita tidak hanya menjadi pelayan yang menyelesaikan tugas. Jadilah penjaga pengalaman, pemelihara makna, dan perpanjangan tangan Tuhan yang menghidupkan keramahan sejati.
Karena meladeni bukan tentang siapa yang di atas atau siapa yang dibayar lebih. Tapi tentang siapa yang bersedia memberi lebih dari sekadar layanan—yaitu ketulusan.
Jember, 27 Maret 2025