Menenun Reputasi Membangun 3 Pilar Branding

Latar Belakang

Dalam industri pariwisata dan perhotelan — serta dalam semua ekosistem profesional modern — branding bukan sekadar alat promosi, melainkan refleksi nilai dan masa depan perusahaan, organisasi, dan individu.

Corporate Branding, Employer Branding, dan Personal Branding adalah tiga pilar utama yang harus dibangun bersamaan, seimbang, dan berkelanjutan, untuk menciptakan reputasi yang otentik dan berpengaruh.


Tujuan

  • Membentuk pemahaman utuh tentang pentingnya harmonisasi ketiga jenis branding.
  • Memberikan panduan praktis untuk membangun branding yang berakar pada nilai keaslian, keberlanjutan, dan kontribusi.
  • Mendorong setiap individu dan organisasi untuk menenun brand sebagai bagian dari legacy jangka panjang, bukan sekadar strategi jangka pendek.

Pokok Pikiran

  1. Corporate Branding
    • Mewakili nilai jiwa perusahaan ke dunia luar.
    • Fokus pada authenticity, integrity, dan resonance.
    • Menekankan pentingnya keberlanjutan dalam semua komunikasi dan tindakan.
  2. Employer Branding
    • Membentuk reputasi perusahaan sebagai tempat terbaik untuk bertumbuh.
    • Mengedepankan respect, empowerment, dan trust.
    • Menciptakan iklim kerja harmonis sebagai bagian dari strategi keberlanjutan SDM.
  3. Personal Branding
    • Mencerminkan karakter dan kontribusi otentik individu.
    • Membangun reputasi berbasis nilai dan konsistensi.
    • Berkontribusi memperkuat employer dan corporate branding secara alami.
  4. Integrasi Ketiganya
    • Branding yang sejati adalah branding yang terintegrasi harmonis.
    • Keselarasan nilai, konsistensi pesan, dan keberanian bertransformasi adalah kunci utama.
  5. Strategi Hypnowriting, Hypnoselling, Hypnobranding
    • Menulis, menjual, dan membangun brand melalui pendekatan emosional positif tanpa manipulasi.
    • Mengutamakan koneksi hati dan value-driven persuasion.

“Your brand is what people say about you when you’re not in the room.”
— Jeff Bezos

Menenun Reputasi Sejati: Harmoni Corporate, Employer, dan Personal Branding untuk Masa Depan Berkelanjutan

Dalam dunia pariwisata dan perhotelan — dunia yang bergerak secepat desir angin dan sepekat kabut ambisi — branding bukan sekadar soal nama, logo, atau slogan. Branding adalah napas yang menghidupi reputasi.
Namun, seringkali terjadi ketimpangan: perusahaan berlomba membangun corporate branding, tetapi melupakan employer branding; individu fokus pada personal branding, tetapi lupa menyesuaikannya dengan citra tempat ia bekerja.

Sejatinya, corporate branding, employer branding, dan personal branding adalah tiga pilar emas yang harus dibangun bersamaan, seirama, dan seimbang — seperti gamelan yang saling melengkapi suara kendang, saron, dan gong dalam satu irama megah.

Lalu, bagaimana caranya?
Mari kita gali bersama.


1. Corporate Branding: Jiwa dan Suara Sebuah Organisasi

Corporate branding adalah how the world sees your company.
Ia adalah janji emosional yang dikirimkan perusahaan kepada dunia. Sebuah komitmen diam-diam:
“Inilah siapa kami, apa yang kami perjuangkan, dan apa yang Anda rasakan jika Anda memilih kami.”

Dalam industri pariwisata dan perhotelan, corporate branding berarti:

  • Menciptakan identitas otentik.
    Apakah hotel Anda adalah lambang kemewahan, kehangatan, atau petualangan?
  • Menghidupkan nilai perusahaan dalam pelayanan nyata.
    Bukan hanya di brosur atau website — melainkan di setiap senyum resepsionis, di setiap sapaan housekeeper, di setiap detail presentasi makanan.
  • Mengukir pengalaman tamu menjadi legenda.
    Karena di dunia ini, orang akan lupa apa yang Anda katakan, tetapi mereka tidak akan lupa bagaimana Anda membuat mereka merasa.

Tips Corporate Branding:

  • Bangun storytelling yang kuat dan emosional.
  • Konsisten di semua channel: visual, suara, pelayanan.
  • Dengarkan feedback pasar dan adaptasi tanpa kehilangan jati diri.
  • Jadikan customer experience sebagai panggung utama.

Pitutur Jawa:
“Aja mung ngucap, nanging uga nglakoni.” — Jangan hanya berkata, tetapi juga melakukan.


2. Employer Branding: Reputasi Perusahaan di Mata Karyawan

Jika corporate branding adalah wajah perusahaan di depan pelanggan, maka employer branding adalah wajah perusahaan di depan karyawannya — dan calon karyawan.

Employer branding menjawab pertanyaan ini:
“Mengapa orang hebat harus mau bekerja di sini dan bertahan lama?”

Dalam dunia hospitality, employer branding yang kuat akan:

  • Menarik talenta terbaik — bukan hanya mereka yang butuh kerja, tetapi mereka yang ingin bekerja dengan Anda.
  • Membangun loyalitas dari dalam — karena happy employees = happy guests = sustainable business.
  • Mengurangi turnover — menyelamatkan biaya rekrutmen dan pelatihan yang mahal.

Tips Employer Branding:

  • Tampilkan nilai dan budaya kerja yang genuine dalam semua komunikasi.
  • Berikan perhatian nyata pada kesejahteraan karyawan, bukan sekadar janji.
  • Perkuat internal storytelling: kisahkan keberhasilan tim, apresiasi talenta.
  • Jadikan karyawan sebagai brand ambassador, bukan sekadar tenaga kerja.

English Quote:

“Clients do not come first. Employees come first. If you take care of your employees, they will take care of the clients.” — Richard Branson

Pitutur Jawa:
“Sapa sing nandur, bakal ngunduh.” — Siapa menanam, dia yang akan memetik hasil.


3. Personal Branding: Cahaya Pribadi dalam Panggung Profesional

Dan kini kita tiba di pilar ketiga: personal branding.

Personal branding adalah cara Anda, sebagai individu, dikenal, dikenang, dan dihargai di dunia profesional.
Apakah Anda dikenal sebagai problem solver? Inspirator? Visioner? Atau sekadar ‘pekerja biasa’?

Dalam industri hospitality, di mana reputasi adalah segalanya, personal branding menentukan karier Anda.
Bahkan, dalam banyak kasus, personal branding yang kuat akan mengangkat employer branding dan corporate branding sekaligus.

Tips Personal Branding:

  • Temukan core identity Anda: apa kekuatan unik Anda?
  • Jaga konsistensi perilaku online dan offline.
  • Bangun reputasi berbasis kontribusi, bukan sekadar pencitraan.
  • Terus belajar dan berbagi ilmu.
  • Jadilah “panutan diam” — orang yang tidak perlu banyak bicara untuk dihormati.

Hypnowriting Reminder:
Bukan tentang seberapa banyak yang Anda tunjukkan.
Melainkan tentang seberapa dalam Anda beresonansi dalam pikiran dan hati orang lain.

Pitutur Jawa:
_”Ajining diri saka lathi.” — Harga diri seseorang terlihat dari ucapannya.


4. Menyatukan Ketiganya: Harmonisasi Branding

Membangun ketiga pilar ini bukan pekerjaan instan.
Seperti menanam pohon: butuh pupuk, air, cahaya, dan waktu.

Kunci harmonisasi:

  • Alignment:
    Corporate branding harus sinkron dengan employer branding, dan mendukung personal branding karyawan.
  • Authenticity:
    Tidak dibuat-buat. Branding harus muncul dari nilai asli, bukan gimmick.
  • Consistency:
    Satu suara, satu napas, satu getaran di semua lini.

Metafora Jawa:
Seperti menari dalam satu irama gamelan — semua pemain harus paham lagu dan tempo, bukan hanya sekadar ikut-ikutan.


5. Hypnoselling & Hypnobranding: Menyentuh Tanpa Terlihat Memaksa

Dalam dunia yang penuh distraksi ini, menjual tanpa terlihat menjual adalah seni yang mahal.
Di sinilah hypnoselling dan hypnobranding berperan:

  • Hypnoselling:
    Menanamkan ide positif ke dalam benak pelanggan tanpa tekanan.
    Misalnya: bukan berkata “Hotel kami terbaik,” tetapi membiarkan pengalaman pelanggan sendiri membisikkan itu dalam hatinya.
  • Hypnobranding:
    Membentuk persepsi dan emosi melalui pengulangan pesan positif yang konsisten, membangun trust perlahan-lahan hingga menjadi keyakinan.

Tips Hypnoselling & Hypnobranding:

  • Fokus pada storytelling, bukan hard selling.
  • Gunakan visual, suara, dan emosi untuk membangun koneksi bawah sadar.
  • Bangun hubungan jangka panjang, bukan hanya transaksi sesaat.
  • Tanamkan nilai: trust, authenticity, emotional resonance.

6. Remedi untuk Branding yang Belum Seimbang

Jika merasa branding Anda timpang, berikut remedi praktis:

  • Audit Branding:
    Periksa kembali semua aspek citra Anda: corporate, employer, personal.
  • Libatkan semua pihak:
    Karyawan adalah duta, bukan hanya pekerja.
  • Rekalibrasi Nilai dan Komunikasi:
    Pastikan apa yang diucapkan = apa yang dilakukan.
  • Mulai dari dalam:
    Branding sejati bersumber dari budaya internal yang hidup, bukan dari iklan berbiaya besar.

7. Solusi Praktis: Menjahit Branding Secara Strategis

Prinsip kerja strategis:

  1. Vision Alignment:
    Tentukan apa yang ingin dicapai dalam 5–10 tahun ke depan.
  2. Brand Pyramid:
    Bangun dari bawah: (a) Value –> (b) Message –> (c) Image –> (d) Experience.
  3. Empower the People:
    Investasikan pelatihan, bukan hanya iklan.
  4. Live the Brand:
    Branding bukan kampanye — branding adalah kehidupan sehari-hari.

Branding yang Menghidupkan, Bukan Membebani

Dalam filsafat Jawa, kita diajarkan:
“Urip iku kudu ngajeni, lan ngajeni awake dhewe.” — Hidup itu harus menghargai, dan menghargai diri sendiri.”

Demikian pula branding.
Branding sejati adalah penghormatan: kepada pelanggan, kepada karyawan, kepada diri sendiri.
Bukan sekadar membangun nama, tetapi membangun makna.
Bukan sekadar terlihat hebat, tetapi membuat hidup orang lain menjadi lebih baik.

Ingatlah:
Dalam dunia ini, mungkin Anda akan dilupakan dari kata-kata Anda.
Tetapi Anda akan selalu dikenang dari kesan yang Anda tinggalkan.

Jadi, menenunlah dengan hati.
Membangunlah dengan jiwa.
Menghidupkanlah dengan cinta.

Karena itulah esensi branding sejati. Branding sejati adalah amanah, bukan alat pamer.
Membangun branding adalah tentang menghidupkan nilai, menginspirasi perubahan positif, dan mewariskan pengaruh yang bertahan jauh lebih lama daripada produk atau jasa.


Tagline Pendukung:
“Build the Brand, Live the Brand, Be the Brand.”

Menenun Reputasi Sejati: Harmoni Corporate, Employer, dan Personal Branding untuk Masa Depan Berkelanjutan

Jember, 27 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

Tiga Raja Dalam Diri: Ego, Ambisi, dan Mimpi

“You must learn to master a new way to think before you can master a new way to be.” – Marianne Williamson

Dalam ranah kehidupan, banyak manusia tersandung bukan karena ketidaktahuannya, tetapi justru karena kelebihan: kelebihan ego, ambisi, dan mimpi yang tak terkendali. Pemikiran bahwa manusia bisa hancur karena ketiganya bukanlah hal yang keliru—tetapi juga bukan sesuatu yang tak bisa diselesaikan. Ia adalah panggilan untuk belajar mengelola, bukan memusnahkan. Untuk menyelaraskan, bukan menyingkirkan. Maka, mari kita telaah lebih dalam.

Ketika Ego, Ambisi, dan Mimpi Bisa Menghancurkan — Dan Bagaimana Kita Bisa Menyelamatkan Diri

“You must learn to master a new way to think before you can master a new way to be.” – Marianne Williamson

1. Ego: Cermin Diri atau Jurang Diri?

Ego, dalam kadar sehatnya, adalah identitas. Ia memberi kita batas antara “aku” dan “yang lain”, membangun kepercayaan diri dan ketegasan. Namun, begitu ia membesar dan mengambil alih kemudi hidup, ego berubah menjadi tirani—yang menolak kritik, menolak perubahan, dan menyamakan harga diri dengan superioritas.

Pitutur luhur Jawa berkata:
“Ajining diri saka lathi, ajining rogo saka busana.”
Artinya, martabat seseorang terlihat dari ucapannya, bukan egonya. Kehormatan bukan berasal dari kesombongan, tetapi dari tutur kata dan sikap rendah hati.

Solusi praktis:

  • Latih kesadaran diri (self-awareness). Renungkan setiap sore: “Apakah hari ini aku mendengarkan lebih banyak atau lebih banyak berbicara untuk menang?”
  • Tumbuhkan rasa ingin tahu daripada merasa paling tahu.
  • Gunakan feedback loop dari orang yang dipercaya untuk menilai apakah ego kita masih dalam kendali atau sudah menjadi topeng keangkuhan.

2. Ambisi: Bahan Bakar atau Bara Api?

Ambisi adalah api yang menggerakkan manusia mencapai potensi terbaiknya. Namun, jika tak dijaga, ia menjadi nafsu tak berbatas—menghancurkan relasi, integritas, bahkan kesehatan mental.

Di dunia perhotelan dan pariwisata, kita sering melihat profesional yang “burnout” bukan karena kurang kerja, tetapi karena terlalu terdorong mengejar pencapaian yang belum dikaji ulang.

Dalam filosofi Jawa:
“Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.”
Menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan. Ambisi boleh besar, tapi caranya harus anggun dan luhur.

Remedi inspiratif:

  • Tetapkan batas waktu untuk kerja dan refleksi. Jangan hanya mengejar angka, tapi juga kehadiran hati.
  • Buat vision board yang tidak hanya berisi pencapaian, tapi juga nilai dan dampak yang ingin ditinggalkan.
  • Ukur ambisi bukan hanya dari seberapa tinggi ia bisa terbang, tapi seberapa banyak ia membawa orang lain ikut serta.

3. Mimpi: Pelita atau Fatamorgana?

Mimpi adalah benih masa depan. Tapi mimpi yang tak dibarengi realitas dan tindakan hanya akan menjadi fatamorgana yang menjauhkan kita dari kenyataan, bahkan menciptakan frustrasi dan rasa gagal yang dalam.

Di dunia digital kini, mimpi seringkali dibentuk oleh perbandingan sosial media. Kita ingin seperti orang lain, bukan seperti versi terbaik diri sendiri.

Pitutur Jawa menyarankan:
“Urip iku mung mampir ngombe.”
Hidup ini hanya singgah sejenak untuk minum. Maka nikmati prosesnya, jangan terlalu mabuk oleh mimpi yang tak berpijak.

Tips motivasi praktis:

  • Tuliskan mimpi-mimpimu. Lalu pecah menjadi target bulanan, mingguan, harian.
  • Evaluasi secara berkala: Apakah mimpi ini masih selaras dengan nilai hidupku?
  • Kembangkan mimpi yang tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga menyertakan kebermanfaatan untuk sesama.

Bagaimana Menyembuhkan Diri dari Kerusakan Tiga Hal Ini?

  1. Gunakan Metode Tiga Cermin:
    • Cermin Datar (apa adanya): Terima kekuatan dan kelemahan kita dengan jujur.
    • Cermin Cembung (melihat lebih luas): Refleksi atas dampak kita terhadap lingkungan.
    • Cermin Cekung (melihat ke dalam): Renungan terhadap niat dan arah hidup kita.
  2. Praktikkan Filosofi “N-JAWA-NI”
    • Ngerti: Sadari potensi diri.
    • Nerimo: Terima proses dan pembelajaran.
    • Ngunduh: Petik hasil dengan syukur, bukan jumawa.
  3. Refleksi Mingguan: Tanyakan tiga hal:
    • Apakah minggu ini aku lebih dekat dengan nilai hidupku?
    • Apakah aku menciptakan ruang bagi orang lain tumbuh bersamaku?
    • Apakah aku mengejar mimpi dengan hati terbuka, bukan terhimpit oleh tekanan?
Ketika Ego, Ambisi, dan Mimpi Bisa Menghancurkan — Dan Bagaimana Kita Bisa Menyelamatkan Diri

“You must learn to master a new way to think before you can master a new way to be.” – Marianne Williamson

Mengubah Tiga Musuh Menjadi Tiga Guru

Mari kita balik cara berpikirnya. Ego, ambisi, dan mimpi tidak untuk dihilangkan. Mereka adalah tiga guru besar dalam perjalanan hidup kita:

  • Ego mengajarkan kita batas dan harga diri.
  • Ambisi mengajarkan kita arah dan keberanian.
  • Mimpi mengajarkan kita harapan dan tujuan.

Ketika kita menjadi murid yang bijak, tiga hal ini justru akan memperkokoh jembatan kehidupan, bukan meruntuhkannya.


Kutipan Penutup & Motivasi

“Your ego is not your amigo unless you tame it. Your ambition is not your enemy unless you lose your soul. Your dreams are not illusions unless you forget to wake up and act.”

Dalam industri pariwisata dan perhotelan, kita tidak sekadar menjual layanan—kita membentuk pengalaman. Tak sedikit yang terjebak dalam glorifikasi karier, penghargaan, dan target, hingga lupa bahwa manusia yang utuh bukan yang paling cepat mencapai puncak, tetapi yang paling mampu bertahan dengan akhlak saat berada di puncak.


Jalan Tengah Sang Bijak

Sebagaimana dalam prinsip “Tri Pramana”: pengamatan (pratyaksa), logika (anumana), dan kesaksian (sabda), kita diajak untuk menilai setiap pemikiran secara utuh. Maka, pemikiran bahwa manusia bisa hancur karena ego, ambisi, dan mimpinya adalah benar—bila tak dikelola. Tapi bisa jadi jalan pencerahan, jika ketiganya dijadikan sarana refleksi dan pengembangan karakter.

Di akhir hari, bukan seberapa besar impian kita yang membuat hidup ini bermakna, tetapi seberapa dalam kita memahami diri dan tetap menjadi manusia dalam setiap langkahnya.

“Man’s greatest power is not in his dreams, but in his ability to live them without losing himself.”

Jember, 22 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Indusstri Pariwisata dan Konsultan

Share this:

n-JAWA-ni: Pelajaran dari Janur Jawa, Tiga Wajah Perjalanan Hidup

Filosofi Megar, Kembar, dan Gagar Mayang sebagai Panduan Bertumbuh, Berharmoni, dan Bangkit

Dalam tradisi Jawa yang kaya akan simbolisme, janur—daun kelapa muda—bukan sekadar elemen dekoratif. Ia adalah perlambang hidup. Di saat pernikahan, janur berdiri gagah dalam bentuk kembar mayang—sepasang hiasan yang indah, serasi, dan sarat makna. Namun di balik anyamannya yang rumit, tersimpan tiga falsafah hidup yang mendalam: Megar Mayang, Kembar Mayang, dan Gagar Mayang.

Filosofi Megar, Kembar, dan Gagar Mayang sebagai Panduan Bertumbuh, Berharmoni, dan Bangkit

Dalam tradisi Jawa yang kaya akan simbolisme, janur—daun kelapa muda—bukan sekadar elemen dekoratif. Ia adalah perlambang hidup. Di saat pernikahan, janur berdiri gagah dalam bentuk kembar mayang—sepasang hiasan yang indah, serasi, dan sarat makna. Namun di balik anyamannya yang rumit, tersimpan tiga falsafah hidup yang mendalam: Megar Mayang, Kembar Mayang, dan Gagar Mayang.

Tiga istilah ini, jika direnungkan lebih dalam, adalah cermin dari perjalanan spiritual dan profesional manusia. Ia adalah pelajaran untuk siapa saja—terutama mereka yang menekuni profesi pelayanan dalam dunia perhotelan dan pariwisata—untuk memahami cara tumbuh, berelasi, dan menghadapi kegagalan dengan bijak.


I. Megar Mayang — Saat Harapan Bertunas

Megar berasal dari kata “mekar”—mengembang, bertunas, membentang ke arah cahaya. Megar Mayang adalah fase ketika harapan sedang tumbuh, semangat sedang menyala, dan mimpi sedang dirajut.

Bagi para profesional muda atau siapa saja yang sedang menapaki awal perjalanan kariernya, inilah masa yang penting. Masa ketika segala kemungkinan terbuka, namun juga rentan goyah jika tidak dijaga dengan kedisiplinan dan integritas.

Seorang frontliner yang baru bergabung dalam tim hospitality mungkin belum mengerti medan, tetapi jika ia membawa niat baik, rasa ingin tahu, dan kerendahan hati untuk belajar, ia telah meletakkan dasar bagi pertumbuhan jangka panjang.

Tips Praktis Megar Mayang:

  • Miliki peta tujuan pribadi. Jangan hanya bekerja karena butuh, tapi karena ingin bertumbuh dan memberi makna.
  • Jaga semangat belajar. Dunia hospitality terus berkembang—yang tak mau belajar akan tertinggal.
  • Bangun reputasi sejak awal. Kepercayaan adalah mata uang tertinggi dalam dunia pelayanan.

“Growth is never by mere chance; it is the result of forces working together.” – James Cash Penney


II. Kembar Mayang — Harmoni dalam Dua

Kembar mayang tidak berdiri sendiri. Ia selalu berpasangan. Simetris, seimbang, saling melengkapi. Ini adalah fase ketika seseorang sudah bertumbuh, dan kini harus belajar berelasi, berkolaborasi, dan membangun sinergi.

Dalam tim kerja, manajemen hotel, atau koordinasi pariwisata, kembar mayang mengajarkan bahwa tidak ada keberhasilan tunggal. Semua capaian besar lahir dari harmoni. Seorang pemimpin yang hebat bukan yang paling tahu segalanya, melainkan yang tahu cara memadukan perbedaan menjadi kekuatan bersama.

Kembar mayang adalah perlambang dari rukun, guyub, dan makarya bebarengan. Ia mewakili semangat gotong royong yang tak lekang oleh zaman.

Tips Praktis Kembar Mayang:

  • Jadilah pendengar yang baik. Komunikasi bukan hanya soal bicara, tapi juga soal mengerti.
  • Bangun kepercayaan tim. Kepercayaan adalah perekat kerja sama. Sekali rusak, sulit dibangun kembali.
  • Junjung tinggi nilai kesetaraan. Setiap peran dalam tim, sekecil apa pun, punya kontribusi besar.

“If everyone is moving forward together, then success takes care of itself.” – Henry Ford


III. Gagar Mayang — Pelajaran dari yang Patah

Tak semua mayang berhasil tumbuh. Gagar Mayang adalah mayang yang patah sebelum sempat mekar. Ia simbol kegagalan—bukan karena takdir semata, tapi kadang karena kesombongan, kelelahan yang tak tertangani, atau kehilangan arah.

Gagal dalam budaya Jawa bukanlah aib, melainkan bagian dari proses hidup. Seperti janur yang layu bisa menjadi pupuk, kegagalan pun bisa menjadi tanah subur untuk tumbuh yang lebih baik—asal mau belajar.

Bagi pelaku pariwisata yang pernah kehilangan arah, kehilangan tamu, atau bahkan kehilangan semangat, gagar mayang adalah panggilan untuk kembali ke akar. Bertanya pada diri: “Mengapa aku mulai?”

Tips Praktis Gagar Mayang:

  • Lakukan refleksi, bukan penyesalan. Refleksi membawa pencerahan, penyesalan hanya membebani.
  • Belajar dari kegagalan orang lain. Tak perlu jatuh di lubang yang sama jika kita mau mendengar cerita orang lain.
  • Bangun kembali dengan kesadaran baru. Kebangkitan sejati lahir dari pemahaman yang lebih dalam, bukan hanya pengulangan langkah.

“Fall seven times, stand up eight.” – Japanese Proverb


Menganyam Tiga Wajah Menjadi Jalan Luhur

Ketiga falsafah janur ini sesungguhnya adalah siklus. Tidak linier, tapi berulang dalam setiap tahap hidup:

  • Saat kita memulai sesuatu yang baru: kita adalah megar mayang.
  • Saat kita sedang menjaga hubungan dan kerjasama: kita hidup sebagai kembar mayang.
  • Saat kita menghadapi kegagalan dan kehilangan arah: kita sedang menjadi gagar mayang—namun masih diberi kesempatan untuk menenun ulang janur hidup kita.

Industri pariwisata dan perhotelan adalah dunia yang padat emosi. Tamu datang dengan harapan. Staf bekerja dengan tekanan. Semua bergerak dalam waktu yang cepat dan standar tinggi. Namun justru di situlah nilai-nilai dari janur ini menjadi penyeimbang: ketulusan, keseimbangan, dan kebangkitan hati.


Menjadi Janur yang Lembut Namun Tangguh

Janur memang mudah dibengkokkan, tapi tak mudah dipatahkan. Ia lentur, ringan, namun kuat jika dirangkai dengan baik. Begitu pula manusia—yang mau merunduk untuk belajar, akan selalu menemukan jalan untuk bertumbuh.

“Ora kabeh sing roboh iku rusak. Kadang mung butuh diangin-angin supaya mekar maneh.”
(Tak semua yang roboh berarti rusak. Kadang hanya butuh diangin-anginkan agar bisa mekar kembali.)

Mari kita belajar dari janur:
Tumbuh dengan harapan.
Berjalan berpasangan.
Belajar dari patah.

Agar hidup ini bukan hanya indah untuk dilihat, tapi juga bermakna untuk dijalani.

Jember 22 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

n-JAWA-ni: Bersahaja dalam Kuasa, Bersuara dalam Tata

“Guguk karsaning priyonggo, nora nganggo peparah lamun angling. Lumo engaran balilu. Uger guru aleman sak karepe dewe.”
(Artinya secara bebas: Anjing pun bisa menjadi mulia jika ia tunduk pada tuannya, tapi manusia yang bicara sembarangan tanpa aturan hanya akan menjadi perusak. Jika seseorang hanya menjadikan pujian sebagai pedoman, dan hidup semaunya sendiri, maka itu awal dari kebodohan.)

“Speak only if it improves upon the silence.” – Mahatma Gandhi
“Wong pinter meneng, wong bodho ngocoh. Sing paling rame iku sing paling ora ngerti.”

“Guguk karsaning priyonggo, nora nganggo peparah lamun angling. Lumo engaran balilu. Uger guru aleman sak karepe dewe.”
(Artinya secara bebas: Anjing pun bisa menjadi mulia jika ia tunduk pada tuannya, tapi manusia yang bicara sembarangan tanpa aturan hanya akan menjadi perusak. Jika seseorang hanya menjadikan pujian sebagai pedoman, dan hidup semaunya sendiri, maka itu awal dari kebodohan.)

Filosofi yang Kerap Terlupakan

Di dunia yang ramai oleh suara—media sosial, ruang diskusi, meja kerja, dan bahkan ruang seminar—semua orang ingin bicara. Ingin didengar. Tetapi tidak semua tahu kapan harus berbicara, bagaimana menyuarakan kebenaran, dan untuk apa ia berkata-kata.

Pitutur luhur Jawa ini mengingatkan kita bahwa berbicara tanpa kerangka berpikir, tanpa tata krama, dan tanpa tujuan mulia—adalah asal muasal dari kerusakan moral, sosial, bahkan profesional. “Guguk karsaning priyonggo” saja bisa lebih mulia dibanding manusia yang hanya bisa angling tanpa pikir panjang.

Dalam dunia pariwisata dan perhotelan, banyak dari kita menghadapi klien, kolega, atasan, atau staf yang tidak tahu batas. Tidak tahu struktur dalam berbicara dan bertindak. Maka dari itu, mari kita kupas makna mendalam dari pitutur ini, dan bagaimana kita bisa menggunakannya sebagai dasar untuk hidup dan memimpin dengan lebih bijak.


1. Guguk yang Mulia: Loyalitas dan Etika dalam Tugas

Guguk (anjing) dalam pitutur ini bukan dimaknai sebagai hinaan, melainkan simbol loyalitas yang ekstrem. Ia tidak pernah berlagak tahu lebih dari tuannya, tidak memamerkan dirinya, dan tidak mendebat.

“Loyalty isn’t grey. It’s black and white. You’re either loyal completely or not loyal at all.” – Sharnay

Di sektor pelayanan—baik di front office, housekeeping, maupun manajemen atas—kerendahan hati dan loyalitas terhadap visi bersama adalah fondasi utama. Bahkan jabatan paling tinggi pun harus tahu bagaimana menjadi pelayan terbaik. Seorang General Manager bukan berarti “penguasa”, tetapi chief servant bagi tim dan tamunya.

Tips Praktis:

  • Tundukkan ego: Belajar mendengarkan sebelum menjawab.
  • Jaga reputasi dengan tindakan, bukan ucapan.
  • Lakukan silent leadership: memimpin lewat teladan, bukan jargon.

2. “Nora nganggo peparah lamun angling”: Suara Tanpa Tata, Jalan ke Jurang

Manusia punya anugerah: lidah. Tapi di sinilah letak kerentanannya. Berapa banyak karier, hubungan, reputasi, bahkan perdamaian hancur hanya karena satu kalimat yang meluncur tanpa pikir?

“Think before you speak. Read before you think.” – Fran Lebowitz

Dalam pelatihan customer service, kita diajarkan untuk “pause, assess, deliver.” Ini bukan sekadar prosedur, tapi filosofi hidup. Bahkan dalam diskusi yang memanas, pemimpin sejati tahu kapan menahan diri.

Remedi:

  • Terapkan prinsip 3 detik: diam sebelum menjawab.
  • Latih diri dengan journaling untuk menyaring emosi.
  • Gunakan bahasa konstruktif, bukan konfrontatif.

3. “Lumo engaran balilu”: Pemimpin Tanpa Arah, Masyarakat Tanpa Cahaya

Lumo (liar, rusak moralnya), Balilu (bodoh karena tak bisa membedakan mana benar mana salah). Ini adalah metafora bagi pemimpin atau figur publik yang berbicara dan bertindak sekehendaknya, tidak memahami dampak sosial dari ucapannya.

“With great power comes great responsibility.” – Voltaire (often quoted via Spider-Man)

Di dunia pariwisata, siapa pun yang menjadi role model—chef, receptionist, brand ambassador, manajer, bahkan influencer pariwisata—mempunyai tanggung jawab untuk mengedukasi dan menginspirasi, bukan hanya menghibur.

Solusi Praktis:

  • Adakan evaluasi etika komunikasi secara berkala.
  • Bangun budaya feedback yang sehat di tempat kerja.
  • Ingatkan diri: bicara untuk memberi makna, bukan panggung.

4. “Uger guru aleman sak karepe dewe”: Kalau Aturan Hanya Dipakai untuk Memuji, Maka Hancurlah Segalanya

Ketika seseorang hanya menggunakan ‘guru’ sebagai tempat pujian (alem), bukan tempat koreksi, maka dia akan menjadi pribadi yang arogan dan anti kritik.

Dalam manajemen hotel, misalnya, kita sering menemukan staf yang hanya ingin dilaporkan kebaikannya, bukan kesalahannya. Akhirnya budaya “asal bos senang” lahir. Ini berbahaya.

“True mentorship is not about making followers, but shaping thinkers.” – Simon Sinek

Motivasi dan Inspirasi:

  • Jadilah pembelajar seumur hidup, bukan pencari validasi.
  • Terima koreksi sebagai bentuk kasih sayang profesional.
  • Bangun culture belajar, bukan budaya asal laporan baik.

Refleksi Diri: Apakah Aku Sudah Bijak dalam Bicara dan Bertindak?

Seorang profesional sejati bukan hanya ditandai dengan seberapa banyak ia tahu, tetapi seberapa besar ia mampu mengendalikan diri. Mengatur kata-katanya, menimbang dampaknya, dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya.

“Wong sing bisa ngendhaleni awak lan tutuké, bakal bisa mimpin jagadé.”
(Barangsiapa bisa mengendalikan diri dan lisannya, ia akan mampu memimpin dunianya.)


Workshop Exercise (Untuk Pelatihan dan Pengembangan Diri)

Latihan 1: “Pause Before You Speak”

  • Instruksikan peserta menuliskan satu pengalaman buruk karena ucapan yang tidak ditimbang.
  • Lalu refleksikan: bagaimana seharusnya respon bijak yang bisa diambil saat itu?

Latihan 2: “My Pitutur Board”

  • Buat papan inspirasi pribadi berisi:
    • Pitutur Jawa favorit
    • English quote favorit
    • Resolusi komunikasi diri
    • Feedback yang paling mengubah hidup

Latihan 3: Roleplay

  • Simulasikan situasi konflik antara staf dan tamu.
  • Tugas peserta: menyampaikan pendapat secara tegas tanpa kehilangan rasa hormat.

Kesadaran adalah Awal dari Perubahan

Pitutur luhur ini mengajarkan satu hal mendasar: jangan pernah merasa paling benar hanya karena bisa bicara. Kadang diam lebih mulia, mendengar lebih bijak, dan tindakan nyata lebih lantang dari pidato panjang.

Kehidupan profesional dan personal adalah panggung pembuktian dari karakter kita. Dan karakter itu tercermin bukan dari pangkat atau portofolio, tapi dari cara kita berbicara, berpikir, dan berperilaku.

“Let your words be few, and your actions be loud. Speak only if it lifts others, heals hearts, or builds bridges.”

Jember, 22 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

Jangan Tabur Duri di Jalanku: Jejak Etika dan Kebaikan dalam Lanskap Profesional

“Don’t burn bridges. You’ll be surprised how many times you have to cross the same river.”
– H. Jackson Brown Jr.

Dalam perjalanan hidup, terutama di medan dunia kerja dan pelayanan publik seperti pariwisata dan perhotelan, kita acap kali dihadapkan pada pilihan-pilihan kecil yang berdampak besar: bersikap tulus atau manipulatif, mengulurkan tangan atau menutup diri, menabur bunga atau duri.

Ungkapan sederhana namun penuh makna, “Jangan tabur duri di jalanku. Siapa tahu kamu nanti akan mencariku tanpa alas kaki,” adalah pitutur luhur yang menuntun kita untuk menanam kebaikan hari ini sebagai bekal keselamatan dan penghormatan di masa depan.

Dalam industri yang menjual pengalaman dan keramahan, jejak sikap dan tutur kata jauh lebih bermakna daripada sekadar transaksi. Inilah filsafat laku hidup yang patut direnungkan dan diterapkan oleh siapa saja yang ingin tumbuh secara utuh, berdaya guna, dan bermartabat.

Taburlah Bunga, Bukan Duri
“Be kind. Everyone you meet is fighting a battle you know nothing about.”
– Plato

Jadilah pribadi yang meninggalkan jejak yang indah. Dalam dunia yang keras, kehangatan hati adalah komoditas langka. Dalam dunia yang kompetitif, kelembutan adalah kekuatan sejati.

1. Menabur Apa, Menuai Apa: Sebuah Falsafah Semesta

Dalam budaya Jawa, dikenal ungkapan agung: “Sapa nandur bakal ngundhuh.” Barang siapa menanam, niscaya akan memetik hasilnya. Apabila yang ditanam adalah duri—dalam bentuk caci maki, pengkhianatan, atau fitnah—maka suatu saat, kita sendirilah yang akan merasakan pedihnya.

Pepatah dunia pun senada: “What goes around, comes around.” Maka berhati-hatilah dalam setiap jejak yang kita tinggalkan, karena dunia ini tidak seluas yang kita sangka. Reputasi menyebar lebih cepat daripada kabar baik, dan luka yang kita tinggalkan bisa menjadi penghalang yang tak kasat mata di masa depan.


2. Etika Profesional: Pilar Keunggulan Tak Tergantikan

Dalam dunia hospitality, etika bukan sekadar formalitas. Ia adalah nafas dari seluruh pelayanan. Tidak ada pelayan yang baik tanpa hati yang bersih. Tidak ada manajer yang dihormati tanpa keteladanan moral.

Contoh nyata:

  • Seorang tamu yang terlihat biasa saja, bisa jadi pemilik jaringan hotel internasional. Perilaku kita hari ini, bisa menjadi portofolio kita esok hari.
  • Rekan kerja junior yang pernah kita remehkan, mungkin kelak menjadi atasan atau mitra bisnis kita. Maka, janganlah bersikap semena-mena. Hormatilah setiap insan dengan segenap kemanusiaannya.

3. Tips dan Trik: Laku Bijaksana Menuju Karier Berbudi

Tip #1: Bangun reputasi, bukan sekadar pencitraan
Reputasi lahir dari konsistensi laku. Integritas yang terjaga, tutur kata yang santun, dan ketulusan dalam bekerja akan menjadi cahaya yang menerangi perjalanan profesional kita.

Tip #2: Tumbuhkan empati dalam komunikasi
Bersikap lembut bukan berarti lemah. Justru, empati adalah kekuatan yang mampu melembutkan konflik dan menguatkan sinergi.

Tip #3: Jadikan setiap interaksi sebagai ladang berkah
Anggap setiap pertemuan sebagai ladang untuk menanam kebaikan. Karena kita tak pernah tahu, dari tangan siapa rezeki akan mengalir, dan melalui siapa takdir akan berputar.


4. Remedi: Bila Pernah Menabur Duri, Segera Lakukan Tobat Profesional

Kita semua pernah keliru. Namun kemuliaan seseorang tidak diukur dari bebasnya ia dari kesalahan, melainkan dari keberaniannya mengakui dan memperbaiki.

Langkah remedi:

  • Minta maaf dengan tulus jika pernah menyakiti.
  • Bangun kembali hubungan yang renggang.
  • Tunjukkan perubahan melalui tindakan nyata, bukan janji semata.

“To forgive is not to forget. To forgive is to remember with kindness.”
– Desmond Tutu


5. Studi Kasus Reflektif: Kesempatan yang Terlewatkan

Di sebuah hotel prestisius di Yogyakarta, seorang tamu datang tanpa reservasi. Penampilannya sederhana. Staff menyambut dengan layanan seadanya. Belakangan, diketahui tamu tersebut adalah investor utama sebuah proyek resort di Bali yang sedang menyamar sebagai tamu anonim. Karena pelayanan yang kurang berkesan, kerja sama yang sejatinya bernilai miliaran rupiah pun lenyap begitu saja.

Inilah contoh nyata mengapa menabur duri, bahkan dalam bentuk abai dan sikap remeh, bisa menjadi kehilangan besar.


6. Solusi Praktis: Integritas sebagai Strategi Unggul

Untuk Profesional:

  • Berlatih rendah hati setiap hari.
    Sikap aja dumeh (jangan merasa paling) menjadikan kita pribadi yang lapang dan dicintai.
  • Kenali titik temu, bukan perbedaan.
    Dalam organisasi, sinergi lebih bermakna daripada dominasi.

Untuk Bisnis:

  • Rawat hubungan pasca pelayanan.
    Hospitality sejati tidak berakhir di meja kasir atau meja resepsionis. Ia hidup dalam ingatan dan hati tamu.
  • Libatkan nilai-nilai luhur dalam SOP.
    Jadikan budi pekerti dan pelayanan tulus sebagai standar operasional, bukan hanya pelengkap.

7. Personal Branding: Jejak yang Menyentuh dan Tak Terhapus

“Your brand is what people say about you when you’re not in the room.”
– Jeff Bezos

Di era digital, jejak kita terekam tanpa batas. Maka jadikanlah setiap langkah sebagai narasi kebaikan. Tidak perlu menyombongkan prestasi, cukup menjadi manusia yang bisa dikenang dengan rasa hormat dan kasih.


8. Aktivitas Workshop: Melatih Rasa dan Rasa Tanggung Jawab

A. Simulasi “Jembatan yang Diruntuhkan”
Peserta diminta menyusun ulang jembatan hubungan yang dulu mereka abaikan. Latihan ini membangkitkan empati dan refleksi moral.

B. Latihan Menulis “Surat Maaf yang Tertunda”
Peserta menulis surat untuk seseorang yang pernah mereka sakiti. Surat ini tidak untuk dikirim, tetapi untuk menyembuhkan.

C. Sharing Circle: “Saat Saya Tersandung Duri Saya Sendiri”
Sesi ini mendorong keterbukaan dan pembelajaran kolektif, dalam suasana aman dan penuh kasih.


9. Taburlah Bunga, Bukan Duri

“Be kind. Everyone you meet is fighting a battle you know nothing about.”
– Plato

Jadilah pribadi yang meninggalkan jejak yang indah. Dalam dunia yang keras, kehangatan hati adalah komoditas langka. Dalam dunia yang kompetitif, kelembutan adalah kekuatan sejati.

Dalam kehidupan ini, kita tak pernah tahu kapan akan kembali menyusuri jalan yang dulu pernah kita lewati. Maka, taburlah kebaikan, tebarkan senyum, dan tumbuhkan belas kasih. Karena barangkali, di titik yang sama nanti, kitalah yang akan berjalan tanpa alas kaki—dan sangat membutuhkan kelembutan yang pernah kita berikan pada orang lain.


“Kita tidak hidup untuk mengalahkan sesama, tetapi untuk saling menumbuhkan.”
– Filosofi n-JAWA-ni

Jember, 21 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

n-JAWA-ni: Kenapa Masih Merangkak?

“You were born with wings, why prefer to crawl through life?”
— Jalaluddin Rumi

Kata-kata Rumi ini tidak sekadar syair, tapi seperti suara batin yang menampar lembut dan bertanya: “Mengapa kamu hidup di bawah potensimu?” Kalimat ini menggugah kita semua—terutama mereka yang dewasa, matang secara usia tapi masih merasa terjebak dalam pekerjaan, hubungan, atau rutinitas yang tak lagi bermakna.

Kita dilahirkan dengan sayap. Sayap keberanian, sayap pemikiran, sayap karya, dan sayap cinta. Namun dalam realita, banyak dari kita memilih merangkak—menjalani hidup sekadar cukup, sekadar normatif, sekadar menggugurkan tugas.

Dalam dunia pariwisata dan perhotelan—yang begitu dinamis, penuh pelayanan, dan sarat emosi manusia—sayap ini seharusnya terbang tinggi. Tapi justru banyak insan industri ini yang merasa kelelahan, kehilangan arah, bahkan kehilangan jiwa.

Tulisan ini hadir sebagai cermin, sebagai mentor dalam bentuk kata, untuk mengingatkan kembali bahwa Anda bisa lebih dari ini. Anda bukan untuk merangkak. Anda untuk terbang.

“You were born with wings, why prefer to crawl through life?”
— Jalaluddin Rumi

1. Sayap Itu Bernama Potensi

Dalam pitutur Jawa, dikenal ungkapan: urip iku kudu nduweni guna—hidup harus membawa manfaat. Itu berarti, hidup bukan sekadar bertahan, tapi berkembang dan berguna. Dan itu hanya bisa terjadi kalau kita menggunakan “sayap” kita.

Dalam konteks profesional, khususnya di hospitality:

  • Sayap itu bisa berarti kemampuan menciptakan momen tak terlupakan bagi tamu,
  • Bisa berupa inisiatif untuk membuat sistem kerja lebih efisien,
  • Atau keberanian mengambil tanggung jawab di luar jobdesc demi hasil yang lebih baik.

Sayap bukan sekadar bakat, tapi juga niat, tekad, dan laku.

“Your talent is God’s gift to you. What you do with it is your gift back to God.” – Leo Buscaglia


2. Mengapa Masih Memilih Merangkak?

Mari jujur. Mengapa banyak dari kita masih merangkak?

  • Karena takut: takut gagal, takut dinilai, takut kehilangan stabilitas.
  • Karena trauma masa lalu: pernah dicemooh saat mencoba hal baru.
  • Karena lingkungan tidak mendukung: budaya kerja yang stagnan atau toksik.
  • Karena terlalu nyaman: zona nyaman memang menyenangkan, tapi tidak membawa ke mana-mana.

Sayangnya, semua itu adalah jebakan. Dalam pitutur Jawa ada pepatah: yen kepengin urip mulya, kudu wani rekasa—jika ingin hidup mulia, harus berani bersusah payah. Sayap tidak akan tumbuh jika tidak dilatih menahan angin.


3. Terbang Itu Pilihan Dewasa

Berbeda dengan burung yang terbang karena naluri, manusia terbang karena pilihan. Terbang dalam hidup berarti:

  • Memilih tanggung jawab daripada alasan,
  • Memilih makna daripada sekadar hasil,
  • Memilih bertumbuh daripada stagnan.

Dalam dunia hospitality, orang-orang yang “terbang” adalah mereka yang:

  • Membawa ide kreatif yang mengubah pengalaman tamu,
  • Menjadi pemimpin yang mengangkat orang lain, bukan menekan,
  • Membawa energi positif bahkan saat situasi operasional sedang buruk.

“Excellence is not a skill, it is an attitude.” – Ralph Marston


4. Tips & Trik Membentangkan Sayap

a. Audit Diri Sendiri

Tuliskan 3 hal:

  • Apa yang paling membuat Anda hidup?
  • Kapan terakhir kali Anda merasa bangga dengan pekerjaan Anda?
  • Apa satu hal yang selalu Anda tunda, padahal tahu itu penting?

Jangan abaikan jawaban Anda. Di sanalah sayap Anda bersembunyi.

b. Buat Peta Terbang (Vision Map)

  • Tentukan arah: “Apa peran besar saya dalam hidup atau industri ini?”
  • Buat milestone bulanan: pelatihan, pengalaman, mentor.
  • Visualisasikan: bayangkan diri Anda sedang terbang tinggi. Seperti apa bentuknya?

c. Ganti Lingkungan, Bila Perlu

Jika Anda berada di “sangkar”—baik itu kantor, tim, atau relasi yang membuat sayap Anda lemah—pertimbangkan berpindah. Lingkungan memengaruhi bentuk terbang kita.

d. Latih Storytelling & Public Speaking

Sayap juga berbentuk suara. Belajarlah menyuarakan ide, pengalaman, dan nilai dengan kuat. Ini bukan untuk narsisme, tapi untuk menyinari yang lain.

e. Tingkatkan Skill Digital

Di era digital hospitality:

  • Belajar manajemen media sosial untuk hotel,
  • Pelajari tren sustainability & green tourism,
  • Kuasai manajemen reputasi digital.

Skill ini adalah bensin sayap masa kini.


5. Remedi untuk Sayap yang Patah

Kepada Anda yang sedang lelah, berikut beberapa remedi batin:

  • Waktu untuk diri sendiri. Rehat sejenak dari pelayanan. Anda bukan robot.
  • Jurnal refleksi. Tulis perjalanan Anda selama ini. Kadang Anda tidak sadar sudah sejauh ini terbang.
  • Bertemu orang bijak. Satu jam dengan mentor bisa mempercepat perjalanan Anda setahun ke depan.
  • Wisata jiwa. Pergilah ke alam, bukan untuk posting, tapi untuk berdiam. Gunung, hutan, dan laut akan menyembuhkan luka sayap Anda.

“The soul always knows what to do to heal itself. The challenge is to silence the mind.” – Caroline Myss


6. Solusi Praktis: Dari Merangkak ke Terbang

1. Tuliskan “Sayap Saya Adalah…”

Lengkapi kalimat ini. Misalnya:

  • Sayap saya adalah keberanian bicara di depan umum.
  • Sayap saya adalah empati yang membumi.
  • Sayap saya adalah ide-ide kreatif untuk program tamu.

2. Rancang Proyek Mikro

Buat proyek kecil 30 hari untuk menggunakan sayap itu. Misalnya:

  • Buat podcast hospitality internal,
  • Latih 1 rekan kerja tiap minggu,
  • Tulis 5 insight di LinkedIn soal pelayanan.

3. Ciptakan “Lingkar Terbang”

Bentuk kelompok 3-5 orang yang sama-sama ingin naik kelas. Diskusi mingguan, saling review, saling dorong. Kecil tapi berdampak.


7. Lintasi Langitmu Sendiri

Pitutur terakhir dari tanah Jawa: wong urip kudu nduweni semangat kaya elang—orang hidup harus punya semangat seperti elang.

Elang tidak menunggu angin untuk terbang. Ia menciptakan arusnya sendiri.

Begitu pula Anda. Anda tidak perlu menunggu izin orang lain untuk menjadi besar. Anda cukup mengizinkan diri sendiri.

Ingat: Anda dilahirkan dengan sayap. Jangan biarkan ketakutan, kenyamanan, atau trauma membuat Anda terus merangkak. Bangkitlah. Terbanglah. Dunia ini terlalu indah untuk dijalani tanpa membentangkan potensi Anda sepenuhnya.

“Don’t be impressed by the noise around you. Listen to the whisper inside you.”


Salam untuk jiwa-jiwa yang siap membentangkan sayapnya.
Dari saya yang juga sedang belajar terbang lebih tinggi, lebih bijak, dan lebih bermakna.


Jember, 9 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Konsultan

Share this:

Jangan Silau Oleh Kemasan: Jalan Sunyi Menuju Keteladanan

“Don’t be impressed by money, followers, degrees, titles. Be impressed by humility, integrity, generosity, kindness.”

Suatu pagi yang tenang, di sebuah hotel berbintang di pinggiran kota, seorang pria paruh baya datang mengenakan pakaian biasa, wajahnya bersahaja. Tak ada mobil mewah, tak ada asisten yang membukakan pintu. Ia menunggu di lobi, tak disapa. Para staf sibuk menyambut tamu-tamu glamor. Beberapa jam kemudian, barulah semua sadar: pria itu adalah pemilik jaringan hotel tersebut. Ia datang diam-diam, menguji apakah nilai yang tertulis dalam misi perusahaan benar-benar dijalankan di lapangan. Yang diberi penghargaan justru bellboy muda yang menyapanya ramah dan tanpa prasangka.

Apa yang kita kagumi hari ini?

Di zaman serbadigital ini, kita mudah terpukau oleh angka: followers, saldo rekening, gelar akademik, jabatan. Industri pariwisata dan perhotelan tak lepas dari pengaruh ini. Banyak profesional muda berlomba menunjukkan pencapaian, tapi lupa bahwa nilai sejati bukan diukur dari “apa yang terlihat”, melainkan dari “siapa kita saat tak ada yang melihat.”

Pitutur Jawa berkata, “Ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana.” Harga diri seseorang terlihat dari ucapannya, bukan dari baju mahal yang dikenakan. Maka, mari kita ubah paradigma kekaguman—dari luar ke dalam, dari topeng ke substansi.


HUMILITY: Merunduk untuk Tinggi

“Be like the bamboo: the higher you grow, the lower you bend.”

Kerendahan hati bukan berarti mengalah dalam segalanya, melainkan sadar bahwa kita tidak lebih tinggi dari orang lain hanya karena jabatan atau gelar. Dalam dunia hospitality, kerendahan hati adalah fondasi pelayanan: menyapa tanpa syarat, melayani tanpa merasa lebih tinggi.

Pitutur Jawa: Andhap asor, nanging linuwih — rendah hati, tapi unggul.

Tips praktis:

  • Ucapkan terima kasih kepada staf terendah sekalipun.
  • Jadikan kritik sebagai bahan belajar, bukan ancaman ego.
  • Gunakan “kami” daripada “saya” dalam keberhasilan tim.

INTEGRITY: Pijakan Kebenaran

“Integrity is doing the right thing, even when no one is watching.” – C.S. Lewis

Integritas adalah nilai yang membuat seseorang dipercaya. Dalam bisnis perhotelan, kepercayaan adalah aset. Tapi godaan untuk berbuat curang kadang datang dalam bentuk yang halus: mark-up harga, pemotongan komisi, manipulasi review tamu. Tanpa integritas, brand ternama pun bisa runtuh.

Pitutur Jawa: Lugu, jujur, lan ora kemlinthi — polos, jujur, dan tidak sombong.

Tips praktis:

  • Buat SOP transparansi dalam semua transaksi.
  • Jangan takut bilang “tidak” pada praktik yang tak sehat.
  • Bangun budaya saling mengingatkan di antara tim.

GENEROSITY: Memberi Adalah Tanda Kekuatan

“You can give without loving, but you cannot love without giving.” – Amy Carmichael

Dalam hospitality, generosity atau kemurahan hati tercermin dari kepekaan dan kepedulian: memberikan layanan lebih tanpa diminta, membantu rekan kerja saat sibuk, memberi pujian yang tulus. Generosity bukan milik orang kaya, tapi milik orang yang hatinya lapang.

Pitutur Jawa: Sopo gelem andum, bakal pinaringan berkah. — Siapa yang mau berbagi, akan diberi berkah.

Tips praktis:

  • Sediakan waktu untuk mentoring staf baru.
  • Buat “hari berbagi” untuk Kegiatan Sosial hotel.
  • Berikan perhatian ekstra kepada tamu istimewa secara sederhana tapi tulus.

KINDNESS: Bahasa yang Menembus Segala Sekat

“Kindness is a language which the deaf can hear and the blind can see.” – Mark Twain

Kebaikan adalah inti dari industri layanan. Kebaikan tak membutuhkan SOP atau pelatihan rumit. Ia datang dari hati yang peduli. Dalam dunia yang dingin oleh profesionalisme semu, kindness adalah pemantik kehangatan.

Pitutur Jawa: Aja dumeh! — Jangan mentang-mentang.

Tips praktis:

  • Tanyakan kabar rekan kerja dengan tulus.
  • Maafkan kesalahan kecil staf baru.
  • Layani semua tamu dengan semangat yang sama, tanpa membeda-bedakan.

MEMBALIK CERMIN KESUKSESAN

“Success is not what you have, but who you are.” – Bo Bennett

Kesuksesan sejati bukan soal seberapa tinggi kita mendaki, tetapi seberapa banyak orang yang kita bantu untuk naik bersama. Dunia hospitality adalah dunia kolaborasi, bukan kompetisi belaka.

Kita diajak kembali pada pitutur: Urip mung mampir ngombe — hidup hanyalah mampir minum. Maka, jadikan setiap momen singkat ini sebagai kesempatan menyemai nilai-nilai baik yang akan terus hidup dalam ingatan orang lain.


SIMULASI WORKSHOP: Latihan Kehidupan

1. Studi Kasus “Tamu Tanpa Nama” Beri peserta peran menyambut tamu misterius dengan penampilan biasa saja. Refleksikan bagaimana nilai-nilai inner virtue diuji.

2. Diskusi Etika Tantangan dilematis: Seorang supplier menawarkan “bonus pribadi” jika hotel memakai produknya. Apa yang Anda lakukan?

3. Latihan “Jurnal Kebaikan” Selama seminggu, minta peserta menulis tiga tindakan baik yang mereka lakukan atau saksikan. Refleksi dilakukan dalam sesi sharing.


KEMBALI MENJADI MANUSIA

Dalam dunia yang memuja pencitraan, memilih menjadi manusia yang tulus dan baik adalah tindakan radikal. Tapi justru di sanalah letak nilai tertinggi kita. Hospitality bukan hanya tentang pelayanan, tapi tentang memanusiakan manusia.

Jangan silau oleh kemasan. Jadilah isi yang bernilai. Jangan hanya menjadi yang paling terlihat, tapi jadilah yang paling diingat—karena sikap, bukan citra.

Sing dadi watu bakal keno banyu, sing dadi banyu bakal golek dalan dewe. (Yang jadi batu akan terkena air. Yang jadi air, akan menemukan jalannya sendiri.)

Jadilah air—yang menghidupi, menyegarkan, dan menemukan jalan meski tak mendapat tepuk tangan.

Dan di sanalah keteladanan tumbuh: diam-diam, tapi tak tergantikan.

Jember, 6 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Konsultan

Share this:

Memimpin dengan Hati: Menginspirasi Tanpa Mendominasi

“Leadership is not about being the best. It’s about making others better.”

Bayangkan sebuah pagi di lobi hotel yang tenang. Seorang pemimpin berdiri menyapa stafnya satu per satu, dengan senyum dan sapaan hangat. Bukan sebagai atasan, tapi sebagai penggerak semangat. Ia bukan yang paling tahu segalanya, tapi yang paling bisa membuat orang lain merasa mampu. Dalam dunia pariwisata dan perhotelan yang penuh dinamika, sosok seperti inilah yang menjadi penopang keutuhan tim.

Kita sering terjebak dalam persepsi bahwa pemimpin harus menjadi yang paling jago. Paling cepat, paling inovatif, paling solutif. Namun kenyataannya, kepemimpinan tidak selalu tentang menjadi yang terdepan, melainkan tentang keberanian untuk berjalan bersama, mendengar dengan hati, dan memimpin dengan rasa.

Dalam dunia yang penuh tekanan dan ekspektasi tinggi seperti hospitality, justru kelembutan dan kebijaksanaanlah yang menjadi pembeda. Seperti pitutur luhur Jawa mengingatkan, “Wong pinter kalah karo wong sabar, wong sabar kalah karo wong tekun.” Ketekunan dan kesabaran bukan sekadar pelengkap, melainkan inti dari laku kepemimpinan.

Berikut ini adalah rangkaian refleksi yang mengalir tentang esensi menjadi pemimpin di dunia hospitality. Sebuah jalan kepemimpinan yang tidak dibangun dari dominasi, melainkan dari dedikasi.

1. Menciptakan Suasana Kerja yang Nyaman secara Psikologis

Dalam sebuah hotel atau destinasi wisata, suasana kerja tercermin dalam senyum dan energi setiap staf. Pemimpin yang hebat paham bahwa kenyamanan psikologis adalah dasar dari pelayanan berkualitas. Bukan sekadar target tercapai, tetapi bagaimana hati tim merasa aman, dihargai, dan dilibatkan.

Tips:

  • Mulailah setiap shift dengan sapaan yang tulus.
  • Adakan forum bulanan untuk mendengar aspirasi dan keluhan staf.

2. Berani Bertanggung Jawab

Seorang pemimpin adalah orang pertama yang maju saat krisis, dan terakhir mengklaim pujian saat sukses. Ia hadir bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk mengayomi dan memperbaiki.

“The price of greatness is responsibility.” – Winston Churchill

Pitutur: “Sing salah ora kudu disalahke, nanging diparingi dalan ben bener.”

3. Memberikan Kesempatan Pengembangan Diri

Pemimpin sejati menumbuhkan potensi. Ia membuka jalan, bukan menutupnya. Dalam hospitality, staf yang berkembang akan melahirkan pengalaman pelanggan yang lebih bermakna.

Tips:

  • Fasilitasi pelatihan daring.
  • Dorong partisipasi dalam proyek lintas departemen.

4. Active Listening: Mendengarkan dengan Hati

Mendengar bukan hanya soal telinga, tapi juga tentang hati. Pemimpin yang mendengarkan secara aktif mampu menyerap lebih banyak daripada yang ia katakan.

Tips:

  • Gunakan teknik parafrase untuk menunjukkan bahwa Anda benar-benar memahami.
  • Hindari menyela saat staf berbicara.

5. Memotivasi Tanpa Menekan

Motivasi bukan tentang membakar semangat dengan tekanan, tapi menghidupkan keyakinan bahwa setiap orang mampu berkembang. Kepemimpinan ala “tut wuri handayani”—mendorong dari belakang—masih sangat relevan.

Tips:

  • Beri pengakuan atas pencapaian kecil.
  • Tunjukkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar.

6. Memberi Kepercayaan

Kepercayaan melahirkan rasa tanggung jawab dan loyalitas. Saat staf merasa dipercaya, mereka akan memberikan lebih dari sekadar tugas, mereka memberi hati.

Tips:

  • Delegasikan proyek dengan batasan yang jelas tapi fleksibel.
  • Hindari kontrol berlebihan (micromanagement).

7. Mengembangkan Bakat

Setiap individu memiliki potensi unik. Tugas pemimpin adalah mengenali dan menyuburkan benih itu.

Tips:

  • Adakan program mentoring informal.
  • Biarkan staf mencoba peran baru sebagai latihan.

8. Menjadi Role Model

Dalam budaya Jawa, “guru digugu lan ditiru.” Pemimpin bukan hanya memberi perintah, tapi menunjukkan keteladanan.

Tips:

  • Tunjukkan etos kerja yang konsisten.
  • Selaraskan ucapan dan tindakan, sekecil apa pun.

9. Mentoring dengan Hati

Mentoring adalah seni membimbing tanpa menggurui. Ini adalah proses membentuk karakter, bukan sekadar kompetensi.

Tips:

  • Sediakan waktu khusus untuk ngobrol santai membahas perkembangan pribadi staf.
  • Jadikan kisah hidup Anda sebagai inspirasi, bukan intimidasi.

10. Mengelola Konflik dengan Elegan

Konflik tidak selalu buruk; ia bisa menjadi jembatan perubahan jika dikelola dengan bijak. Pemimpin tidak memperuncing, tapi memperhalus.

Tips:

  • Jangan buru-buru menyimpulkan. Dengarkan semua sisi.
  • Fokus pada solusi, bukan menyalahkan.

11. Sabar: Nafas Panjang dalam Kepemimpinan

Kesabaran adalah napas dalam proses memimpin. Tanpa kesabaran, keputusan terburu-buru akan merusak proses yang sedang tumbuh.

Tips:

  • Latih jeda sebelum merespons situasi yang menekan.
  • Jadikan setiap kegagalan sebagai sarana refleksi, bukan frustrasi.

Kepemimpinan sebagai Jalan Hidup

Dalam dunia hospitality, pemimpin bukanlah orang yang berada di atas, tapi yang hadir di tengah. Ia bukan menara gading, melainkan mata air yang menghidupi sekitarnya.

“You don’t lead by hitting people over the head – that’s assault, not leadership.” – Dwight D. Eisenhower

Kepemimpinan sejati bukan soal jabatan, melainkan tentang laku sehari-hari. Tentang menjadi peneduh, bukan penguasa. Menjadi teladan, bukan sekadar pengatur. Menjadi ruang aman yang penuh kepercayaan.

Sebagai pelatih, fasilitator, atau pemilik usaha, Anda bisa menjadikan prinsip-prinsip ini sebagai bahan pelatihan dan pembinaan tim. Bawa nilai-nilai ini dalam setiap morning briefing, diskusi evaluasi, hingga sesi coaching. Sampaikan dengan hati, jalani dengan tulus.

Karena pada akhirnya, menjadi pemimpin yang “tidak paling jago” justru membuka ruang bagi orang lain untuk bersinar. Dan di situlah cahaya kepemimpinan sejati terpancar: bukan dari sorot spotlight, tapi dari cahaya yang kita nyalakan dalam diri orang lain.

Semoga tulisan ini menjadi cermin dan cahaya: untuk melihat ke dalam, dan menerangi jalan ke luar.

Jember, 6 April 2025

Jefrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Konsultan

Share this:

“Monkey See, Monkey Do”: Cermin Pembelajaran dan Tantangan Industri Pariwisata & Perhotelan di Daerah

“Imitation is not just the sincerest form of flattery – it’s also the most primitive form of learning.”
Unknown

Ketika Tiruan Menjadi Guru

Dalam dunia pariwisata dan perhotelan, terutama di wilayah-wilayah Indonesia yang sedang berkembang, ada satu fenomena yang diam-diam namun terus berlangsung: Monkey See, Monkey Do. Istilah ini, yang secara harfiah berarti “monyet melihat, monyet meniru”, bukan sekadar guyonan atau metafora semata. Dalam konteks yang lebih mendalam, ia adalah cara dasar manusia—dan organisasi—belajar melalui peniruan, pengamatan, lalu tindakan.

Dalam filsafat Jawa, kita mengenal pepatah:
“Guru sejatine yaiku pengalaman.”
Artinya, guru sejati adalah pengalaman itu sendiri. Maka, proses meniru, jika disadari secara sadar, bisa menjadi bagian dari pembelajaran yang bermakna, bukan sekadar replika tanpa jiwa.

Namun, bagaimana agar peniruan ini tidak menjadikan kita sekadar bayangan dari pihak lain? Bagaimana agar proses ini mengandung keilmuan, strategi, bahkan nilai-nilai luhur yang bisa membawa daerah dan SDM-nya menuju lompatan peradaban di bidang hospitality?

Mari kita bahas satu per satu, secara naratif dan reflektif.

Dalam perjalanan kita membangun industri pariwisata dan perhotelan di daerah, Monkey See Monkey Do tidak selalu buruk. Ia bisa menjadi awal dari kebangkitan. Tapi jangan berhenti di meniru.

Bab 1: Dari Imitasi Menuju Inovasi

Ketika satu destinasi wisata sukses—entah karena viral di media sosial, atau karena kebijakan pemerintah daerah—maka tempat-tempat lain pun akan berlomba-lomba membuat copycat.

Misalnya, muncul satu glamping site yang viral di pegunungan, dalam waktu dekat pasti muncul lima hingga sepuluh “kloning”-nya. Di sinilah kita harus hati-hati. Imitasi boleh, tapi blind replication adalah jebakan.

Tips #1: Amati, Tiru, Modifikasi, Tambahkan Jiwa

Dalam hospitality, meniru desain, sistem, atau program itu sah-sah saja. Tapi, berilah sentuhan lokal, personalisasi budaya, dan pemaknaan filosofis. Inilah yang akan membedakan antara “sekadar mirip” dan “memiliki karakter”.

“Don’t copy the style, capture the spirit.”
Jeffrey Wibisono V.


Bab 2: Apa yang Harus Kita Siapkan?

Jika ingin bertransformasi dari monkey see monkey do menjadi wise see wise do, maka ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh pelaku industri pariwisata dan perhotelan di daerah:

1. SDM yang Mau Belajar dan Diajar

Pelatihan bukan hanya tentang skill, tetapi juga mindset. Kita harus mencetak insan pariwisata yang:

  • Punya open mind, bukan hanya open house.
  • Siap menjadi lifetime learner, bukan sekadar pemungut sertifikat.

2. Infrastruktur Berbasis Identitas

Tempat kerja kita bukan hanya bangunan, tapi wajah peradaban. Jangan asal bangun, tapi bangunlah berdasarkan akar budaya dan potensi unik daerah.

3. Kurikulum Pelatihan yang Holistik

Gabungkan:

  • Hard skill (operasional, teknologi, bahasa)
  • Soft skill (etika, keramahan, empati)
  • Deep skill (filsafat kerja, kesadaran nilai, integritas)

Bab 3: Apa Pengajaran dari Proses Ini?

“Learn from others. But walk your own path.”
Zen Proverb

Fenomena monkey see monkey do menjadi pengingat bahwa:

  • Banyak daerah masih lapar akan validasi eksternal.
  • Banyak pelaku industri masih mengukur sukses dengan jumlah likes dan followers, bukan sustainability dan legacy.
  • Banyak tempat kerja terjebak dalam ego membandingkan, bukan berfokus pada peningkatan diri.

Pitutur Jawa: “Ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga saka busana.”

Harga diri ada pada tutur kata, harga ragamu dari cara engkau membungkusnya. Dalam konteks hospitality, tutur kata adalah pelayanan, dan “bungkus” adalah desain tempat kerja.


Bab 4: Menentukan Posisi Terhadap Kompetitor

Salah satu pelajaran utama dari Monkey See, Monkey Do adalah bagaimana kita belajar memposisikan diri. Tidak perlu menjadi “yang paling” dalam segala hal, tetapi jadilah “yang paling punya nilai”.

Tips #2: Kenali Diri Sendiri (dan Jangan Terobsesi Kompetitor)

  • Apa DNA tempat kerjamu?
  • Apa yang membuat pengalaman pelangganmu tak terlupakan?
  • Apa filosofi pelayananmu?

Terkadang, terlalu banyak mengintip kompetitor membuat kita lupa pada misi kita sendiri.

“Comparison is the thief of joy.”
Theodore Roosevelt


Bab 5: Manfaat dan Tujuan Besar untuk Industri

Proses peniruan, jika disadari dan disempurnakan, bisa menjadi blessing. Sebab:

  • Meniru membuka akses pembelajaran cepat.
  • Meniru memicu kompetisi sehat.
  • Meniru menguji orisinalitas.

Namun, tujuan akhirnya bukanlah saling meniru, melainkan saling menginspirasi dan bersama-sama naik kelas.

Tips #3: Jadikan Tempat Kerjamu ‘Center of Excellence’

Jika satu tempat kerja di daerah bisa menjadi “contoh baik”, maka efek tiruannya justru akan memperluas kualitas industri.


Bab 6: Peran Pemerintah NKRI: Pembibitan, Pendampingan, dan Perlindungan

Pemerintah adalah pengatur nada. Bukan hanya regulator, tapi juga fasilitator dan akselerator.

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?

  • Membuat Inkubator SDM Lokal: Pelatihan yang berjenjang dan berkelanjutan.
  • Menghargai Kearifan Lokal: Memberi insentif pada inisiatif berbasis budaya.
  • Melindungi Originalitas: Mendaftarkan hak cipta desain, produk wisata, dan praktik layanan.
  • Memberi Ruang Eksperimen: Mendukung destinasi untuk jadi laboratorium hidup.

“The future of tourism is not in replication, but in distinction.”


Bab 7: Solusi Praktis & Remedi untuk Kemajuan Industri

1. Benchmark ke Luar, Tapi Adaptasi ke Dalam

Jangan hanya study tour, tapi lakukan studi adaptasi.
Kembangkan apa yang cocok dengan iklim, budaya, dan karakter lokal.

2. Latihan Kecil, Dampak Besar

Buat simulasi layanan sederhana yang menyentuh hati.
Contoh: sapaan khas daerah, minuman sambutan tradisional, cara berpakaian yang sopan tapi identik.

3. Kolaborasi Lintas Tempat

Jangan saling sikut. Buat jaringan antar destinasi di satu kabupaten.
Bersama-sama membuat paket wisata lintas desa, lintas hotel, lintas generasi.

4. Kampanye Kesadaran Diri

Buat gerakan kecil di tempat kerja:

  • “Berani Asli”
  • “Berani Menjadi Teladan”
  • “Berani Belajar dari Gagal”

Penutup: Dari Bayangan Menjadi Sumber Cahaya

“We first imitate, then we evolve. We must honor the source, but we must also become the source.”
Jeffrey Wibisono V.

Dalam perjalanan kita membangun industri pariwisata dan perhotelan di daerah, Monkey See Monkey Do tidak selalu buruk. Ia bisa menjadi awal dari kebangkitan. Tapi jangan berhenti di meniru.

Beranilah menjadi:

  • Tempat kerja yang menginspirasi, bukan hanya mengikuti.
  • Destinasi yang menjadi panutan, bukan sekadar bayangan.
  • Tim hospitality yang tidak hanya see and do, tapi juga feel and transform.

Sebagai penutup, mari renungkan pitutur luhur Jawa ini:

“Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti.”
Segala kekuatan dunia akan luluh oleh kelembutan dan kasih sayang.

Begitu pula dalam pelayanan: bukan kekuatan, tapi welas asih, yang akan membawa kita pada keunggulan sejati.

Jember, 4 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Konsultan

Share this:

Filosofi Batik Tiga Negeri: Menenun Kearifan dalam Tiga Warna Kehidupan

“To know the essence, observe the details. To understand the soul, feel the fabric.”
– Anonymous Textile Philosopher

Dalam setiap helaian kain batik, tersembunyi narasi panjang budaya, filosofi, dan nilai-nilai kehidupan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun ada satu warisan yang tak hanya menampilkan motif indah, tetapi juga menyatukan tiga wilayah budaya dalam satu kain: Batik Tiga Negeri. Sebuah mahakarya yang tidak hanya mencerminkan harmoni warna, tetapi juga mengajarkan kita cara menjalani kehidupan dengan memahami detil, proses, dan perjalanan lintas batas.

Mari kita buka helaian filosofi ini, dan benamkan diri dalam makna terdalam dari Batik Tiga Negeri. Bukan sekadar produk tekstil, melainkan peta jiwa Nusantara yang bisa menjadi bekal dalam kepemimpinan, pelayanan prima, hingga pembentukan karakter dalam dunia pariwisata dan perhotelan.

Filosofi Batik Tiga Negeri: Menenun Kearifan dalam Tiga Warna Kehidupan

1. Mengenal Batik Tiga Negeri: Perjalanan Melintasi Budaya

Batik Tiga Negeri bukan sembarang kain. Ia lahir dari sinergi tiga kota batik legendaris: Lasem, Pekalongan, dan Solo. Masing-masing menyumbangkan warna khas—merah Lasem, biru Pekalongan, dan sogan cokelat Solo. Namun yang luar biasa bukan hanya kombinasi warna, melainkan filosofi kolaborasi di dalamnya.

Bayangkan: satu kain berkeliling ke tiga kota berbeda untuk direndam dalam proses pewarnaan khasnya masing-masing. Ini adalah kerja sama lintas daerah, lintas tangan, dan lintas kepercayaan.

“Alone we can do so little; together we can do so much.”
– Helen Keller

Pelajaran pertama untuk para profesional perhotelan dan pariwisata: Kesuksesan sejati tidak datang dari keseragaman, tetapi dari keberanian menyatukan perbedaan menjadi kesatuan yang harmonis.


2. Merah Lasem: Warna Keberanian dan Keteguhan

Lasem dikenal dengan merahnya yang khas, dibuat dari akar mengkudu. Warna ini bukan sekadar estetika, melainkan simbol keberanian, keteguhan hati, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Lasem juga erat dengan akulturasi budaya Tionghoa-Jawa, menjadikan merah sebagai lambang kekuatan hidup.

“Bravery is not the absence of fear, but action in the face of fear.”

Dalam konteks pengembangan diri dan karier, merah Lasem mengajarkan satu hal penting: berani tampil beda dan setia pada nilai-nilai luhur, meski arus zaman terus berubah.

Tips & Trik Inspiratif:

  • Berani menyuarakan ide di tengah standar industri yang stagnan.
  • Tetap pegang prinsip pelayanan dengan hati, meski tekanan finansial mendorong kompromi kualitas.
  • Miliki komitmen seperti warna merah Lasem: menyala, dalam, dan tak mudah luntur.

3. Biru Pekalongan: Warna Adaptasi dan Kreativitas

Pekalongan memberikan sentuhan biru indigo, simbol dari kebebasan berekspresi, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi. Kota ini dikenal fleksibel menyerap pengaruh asing dan menciptakan gaya batik pesisir yang lebih dinamis.

“The art of life lies in a constant readjustment to our surroundings.”
– Kakuzo Okakura

Dalam industri perhotelan, ini bermakna: jadilah seperti air biru, mengalir, fleksibel, dan siap menyesuaikan diri terhadap tamu dari berbagai latar belakang.

Solusi Praktis untuk Profesional:

  • Kembangkan empathy mapping untuk memahami kebutuhan wisatawan lintas budaya.
  • Jadikan cultural agility sebagai modal wajib dalam leadership hospitality.
  • Buat ruang inovasi internal dalam tim agar kreativitas berkembang tanpa batas.

4. Cokelat Sogan Solo: Warna Keteduhan dan Kebijaksanaan

Sogan Solo, dengan warna cokelat keemasan, adalah lambang kebijaksanaan, keteduhan, dan keanggunan batin. Solo adalah pusat batik keraton, penuh tata krama dan adab.

“Wisdom is the reward you get for a lifetime of listening.”
– Doug Larson

Motif sogan mengajarkan bahwa ketegasan tak harus keras. Ia bisa halus, teduh, namun tetap berpengaruh. Dalam pelayanan tamu, warna ini adalah simbol dari kesabaran, sikap welas asih, dan elegansi dalam berinteraksi.

Remedi untuk Stres dalam Industri Jasa:

  • Latih teknik pernapasan dan jeda sebelum melayani, agar aura teduh terpancar.
  • Terapkan prinsip eling lan waspada saat membuat keputusan cepat dalam tekanan.
  • Gunakan bahasa tubuh dan nada suara seperti batik sogan: elegan namun mengakar.

5. Menenun Nilai Kehidupan dari Detail Motif

Tak hanya warnanya, motif Batik Tiga Negeri pun sarat filosofi: bunga, burung, dan ornamen alam. Motif bukan hanya ornamen, melainkan simbol kehidupan: bunga sebagai pertumbuhan, burung sebagai kebebasan jiwa, dan alam sebagai tempat kita kembali.

Pitutur Luhur Jawa:

“Urip iku mung mampir ngombe.”
Hidup itu hanya mampir minum, maka jalani dengan kesadaran, keindahan, dan kebaikan.

Insight untuk Kehidupan Profesional:

  • Perhatikan detil kecil dalam pelayanan: nada sapaan, arah tatapan, hingga waktu menjawab.
  • Dalam tiap motif, tersembunyi kualitas mindfulness. Maka, latih tim Anda untuk “melayani dengan hadir sepenuhnya”.
  • Ciptakan SOP yang berbasis human centric design, bukan sekadar prosedur.

6. Batik Tiga Negeri sebagai Metafora Kepemimpinan

Seorang pemimpin sejati seperti Batik Tiga Negeri: mengerti nilai setiap orang dalam tim, menggabungkan kekuatan berbeda menjadi kesatuan, dan menghargai proses, bukan hanya hasil.

“Leadership is the capacity to translate vision into reality.”
– Warren Bennis

Modul Pelatihan Praktis:

  • Latihan “batik leadership”: minta peserta workshop membuat kolase dari tiga warna untuk menggambarkan kepribadian timnya.
  • Gunakan filosofi batik sebagai ice-breaking story dalam sesi team building.
  • Terapkan rotasi peran antar departemen agar muncul pemahaman lintas fungsi, layaknya kain yang menjelajah tiga kota.

7. Pesan Universal: Menjadi “Kain Hidup” yang Menginspirasi

Kita semua adalah kain yang sedang ditenun oleh pengalaman hidup. Entah kita memilih menjadi polos, atau memilih menjadi seperti Batik Tiga Negeri—kaya warna, penuh makna, dan siap dipakai dalam upacara kehidupan.

“Don’t just wear culture—live it.”


Warna-Warna yang Menjadi Jalan

Dalam dunia yang serba instan, Batik Tiga Negeri mengajarkan kita pentingnya proses. Bahwa perjalanan itulah yang memberi nilai pada hasil. Maka dalam industri pariwisata dan perhotelan, jadilah seperti batik ini: kolaboratif, kreatif, dan penuh kebijaksanaan.

Langkah-Langkah Remedi dan Solusi:

  1. Audit Budaya Kerja: Apakah tim Anda seperti kain putih belum dijamah, ataukah sudah berani dicelup dalam makna?
  2. Ciptakan ‘Kampung Batik’ dalam Organisasi: Ruang eksplorasi talenta dan ekspresi.
  3. Rayakan Perbedaan: Ajak kolaborasi lintas generasi dan departemen.
  4. Latih Kesadaran Makna dalam Detil: Dari cara membuka pintu, menyajikan teh, hingga menutup percakapan dengan tamu.

Untuk Workshop dan Pelatihan:

  • Materi ini dapat dikembangkan menjadi modul visual interaktif, dengan sesi aktivitas seperti “mewarnai hidup” berdasarkan motif Batik Tiga Negeri.
  • Disertai praktik refleksi mandiri dan kelompok, dengan journaling, role-play, dan storytelling berbasis motif batik.
  • Dapat dijadikan sebagai keynote dalam sesi leadership conference maupun pelatihan SDM di sektor hospitality dan pariwisata.

Ingat, dalam dunia yang terus berubah, kearifan lokal adalah jangkar, dan motif batik adalah peta jiwa. Jadilah pribadi yang bukan hanya memakai budaya, tapi juga menghidupkannya dalam tindakan sehari-hari.

“Wisdom is not just in the fabric we wear, but in the life we weave.”


Jember, 1 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Konsultan

Share this: