n-JAWA-ni: KEHIDUPAN DAN KEBENCIAN Memahami Realitas Keniscayaan


Memahami Realitas, Menemukan Kedamaian, Menjadi Pemenang

“You can be the ripest, juiciest peach in the world, and there’s still going to be somebody who hates peaches.”
Dita Von Teese

KEHIDUPAN DAN KEBENCIAN Memahami Realitas Keniscayaan

1. Realitas Sosial: Mengapa Kebencian Itu Ada

Kebencian tidak selalu datang karena kesalahan kita. Kadang, justru muncul ketika kita berhasil. Ketika kita terlalu bersinar, maka ada yang merasa silau. Ketika kita terlalu lembut, ada yang menganggap kita lemah. Dan saat kita terlalu santun, ada yang menyangka ka sedang berpura-pura.

Sebagaimana hukum gravitasi bekerja, kebencian pun adalah bagian dari gravitasi sosial. Ia menarik dan menekan kita ke bawah, membuat kita mempertanyakan eksistensi, keaslian, bahkan niat baik kita sendiri.

“Haters don’t really hate you. They hate themselves because you’re a reflection of what they wish to be.”
Yaira N

Di dunia kerja, terutama di bidang pariwisata dan perhotelan, kebencian bisa muncul dari kolega, tamu, atasan, bahkan dari lingkungan sosial di luar tempat kerja. Dunia hospitality yang menjunjung tinggi keramahan tetaplah dunia yang dijalani oleh manusia dengan segala egonya.

2. Pitutur Jawa: “Sabar lan Nrimo” sebagai Tameng Diri

Orang Jawa percaya pada konsep sabar lan nrimo ing pandum—sabar dan menerima bagian hidup kita dengan ikhlas. Namun nrimo di sini bukan pasrah buta, melainkan penerimaan cerdas, spiritual, dan penuh pengendalian diri.

“Aja dadi geni sing ngobong awake dhewe. Nanging dadi lampu sing madhangi liyan.”
(Jangan menjadi api yang membakar diri sendiri. Tapi jadilah lampu yang menerangi orang lain.)

Kebencian orang lain bukan alasan bagi kita untuk menanggalkan jati diri. Justru ini saatnya menjadi lebih tangguh, lebih sadar akan nilai diri, dan lebih paham bahwa tidak semua orang akan memahami, apalagi mencintai, versi terbaik diri kita.


3. Storytelling: Resepsionis dan Tamu yang Benci Tanpa Alasan

Namanya Arini, seorang resepsionis muda di sebuah hotel bintang empat di kota wisata yang ramai. Senyumnya manis, tutur katanya halus, dan ia dikenal sebagai karyawan yang paling sering mendapat pujian dari tamu.

Namun suatu hari, datang seorang tamu bernama Mr. H. Dari awal check-in, ekspresinya dingin. Ia menatap Arini dengan sinis, mengoreksi semua ucapannya, bahkan menuduhnya tidak profesional hanya karena penulisan nama yang kurang satu huruf.

Arini tetap tenang, meski dalam hati tergores. Selama tiga malam menginap, Mr. H terus melayangkan komplain yang mengada-ada. Ia menyindir Arini dengan komentar tajam: “Kamu cuma pura-pura ramah kan? Nggak usah sok baik.”

Selesai tamu itu check-out, Arini menangis di ruang staf. Ia bertanya pada atasannya, “Apa saya salah? Padahal saya cuma ingin memberikan pelayanan terbaik.”

Sang manajer menjawab bijak, “Orang yang sedang luka sering menyerang cahaya, karena silau. Tapi kamu jangan padam. Justru itu tanda kamu terang.”

Bulan berikutnya, hotel mendapat review dari Mr. H: “Saya datang dengan beban hidup. Tapi resepsionis yang terlalu baik itu membuat saya berpikir, mungkin saya yang salah. Terima kasih, Arini. Maafkan saya.”

Kebencian kadang hanya cara dunia menguji konsistensi kebaikan kita.


4. Kutipan Dunia: Perspektif Global tentang Cinta dan Benci

“Darkness cannot drive out darkness; only light can do that. Hate cannot drive out hate; only love can do that.”
Martin Luther King Jr.

“The opposite of love is not hate, it’s indifference.”
Elie Wiesel

Maka, kebencian orang lain terhadap kita bukan akhir segalanya. Justru itu bukti bahwa kita dilihat, kita diperhitungkan. Tugas kita bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri.


5. Refleksi Diri: Siapa yang Membenci Kita dan Mengapa?

Saat kita menyadari bahwa kita dibenci, langkah pertama adalah jangan panik. Lakukan refleksi jujur:

  • Apakah ini hasil kesalahpahaman?
  • Apakah ada sisi kita yang terlalu dominan?
  • Atau justru kita menjadi “cermin” bagi kekurangan orang lain?

Refleksi bukan untuk menyalahkan diri, tapi untuk menyeimbangkan sikap. Jangan berubah untuk menyenangkan orang, tapi ubahlah pendekatan jika itu bisa menyelamatkan kedamaian hati.


6. Tips & Trik: Inspirasi & Motivasi Menghadapi Kebencian

a. Bangun Daya Tahan Mental (Mental Resilience)

Visualisasikan diri seperti bambu atau air: lentur, sabar, tapi tak terkalahkan. Latih self-affirmation setiap pagi: “Saya cukup. Saya hadir untuk memberi kebaikan.”

b. Kembangkan Kecerdasan Emosional (EQ)

Belajar mengenali pemicu emosi, berlatih menunda reaksi, dan tetap memberi respons yang tenang—bukan reaktif.

c. Tetap Berkarya, Jangan Terpengaruh Komentar Negatif

Biarkan hasil kerja kita berbicara. Tidak perlu berdebat, cukup buktikan melalui tindakan dan konsistensi.

d. Jaga Jaringan Positif

Lingkungan positif bisa menetralisir racun kebencian. Bangun relasi yang sehat dan produktif.


7. Remedi Jiwa: Memaafkan Tanpa Kehilangan Harga Diri

“Ngapuro kuwi dudu kalah, nanging menang ngendhaleni atimu dhewe.”

Memaafkan adalah bentuk kemenangan batin tertinggi. Kita tidak memaafkan untuk mereka, tetapi demi ketenangan batin kita sendiri.

Latihan sederhana: tulis surat kepada orang yang membenci kita (tidak untuk dikirim). Curahkan semua emosi, lalu bakar atau simpan. Ini adalah terapi spiritual untuk membersihkan luka.


8. Solusi Praktis: Untuk Pribadi, Tim, dan Dunia Kerja

Pribadi

  • Rutin menulis gratitude journal
  • Berlatih mindfulness atau meditasi 5 menit setiap pagi
  • Kurangi konsumsi media sosial yang memancing perbandingan atau emosi

Tim Kerja

  • Buat sesi diskusi bulanan tentang komunikasi sehat
  • Kembangkan budaya “apresiasi sesama” antar karyawan
  • Undang fasilitator untuk sesi healing team dan coaching

Lingkungan Profesional

  • Evaluasi struktur reward yang adil
  • Tegakkan budaya transparansi, bukan intrik
  • Rayakan pencapaian tanpa melukai yang belum berhasil

9. Penutup: Kedewasaan, Kemerdekaan, dan Kejernihan Batin

“Be so rooted in your being that no storm can uproot you.”

Kebencian bukanlah akhir cerita, melainkan ujian dari semesta untuk melihat siapa yang benar-benar kuat secara batin. Jangan padam karena silauan orang lain. Jadilah terang—untuk diri sendiri, dan bagi sekitar.

Ingat pitutur luhur Jawa:

“Wong becik ketitik, ala ketara.”
(Yang baik akan tampak, yang buruk akan terlihat pada waktunya.)

Mari kita hidup bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk menjadi pribadi yang damai dan penuh makna.

Jember, 30 Maret 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry & Consultant


Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *