n-JAWA-ni: Merajut Stoikisme dan Kearifan Pitutur Jawa

Panduan Etos Kerja dalam Industri Pariwisata untuk Generasi Milenial, Gen Z, dan Alpha

Pendahuluan: Keselarasan Filsafat dan Realita Modern

Industri pariwisata adalah cerminan dari kompleksitas dunia modern. Setiap hari, jutaan orang bergerak melintasi batas negara, menikmati keindahan alam, budaya, dan layanan yang ditawarkan. Namun, di balik gemerlapnya pariwisata, ada tantangan besar: menghadapi kebutuhan tamu yang beragam, perubahan cepat, dan tekanan persaingan global. Bagaimana kita dapat bertahan dan berkembang di tengah tantangan ini? Jawabannya terletak pada filosofi.

Menggabungkan Stoikisme dari Barat dan pitutur luhur Jawa dari Timur menciptakan panduan lengkap untuk sukses dalam industri ini. Filosofi ini bukan hanya alat bertahan, tetapi juga bimbingan menuju kesuksesan jangka panjang.

Merajut Stoikisme dan Kearifan Pitutur Jawa
Panduan Etos Kerja dalam Industri Pariwisata untuk Generasi Milenial, Gen Z, dan Alpha

Stoikisme: Menghadapi Tantangan dengan Pikiran Jernih

Stoikisme lahir dari kebutuhan untuk mengelola diri dalam situasi sulit. Zeno dari Citium mengajarkan bahwa kebahagiaan berasal dari kemampuan kita mengendalikan diri, bukan mengendalikan dunia luar. “You have power over your mind—not outside events. Realize this, and you will find strength,” tulis Marcus Aurelius.

Dalam industri pariwisata, prinsip ini relevan. Ketika tamu marah karena penerbangan tertunda atau kamar hotel yang tidak sesuai harapan, tugas seorang profesional adalah merespons dengan tenang, bukan reaktif. Pengendalian emosi adalah kunci, karena solusi terbaik lahir dari pikiran yang jernih.

Data Pendukung:

Menurut survei Global Wellness Institute (2023), perusahaan yang menanamkan program kesejahteraan mental dan pelatihan pengendalian stres bagi karyawan mencatat peningkatan produktivitas hingga 30%. Ini menunjukkan bahwa pendekatan Stoikisme tidak hanya filosofis, tetapi juga aplikatif dan berdampak nyata.

Pitutur Jawa: Landasan Kearifan Lokal untuk Kehidupan Seimbang

Pitutur luhur Jawa adalah warisan budaya yang mengajarkan harmoni, kesabaran, dan kebajikan. Filosofi seperti nrimo ing pandum (ikhlas menerima hasil setelah usaha maksimal) atau tepa selira (menghormati perasaan orang lain) adalah nilai-nilai yang memperkuat etos kerja.

Dalam konteks pelayanan tamu, nilai ini menjadi dasar untuk memahami kebutuhan orang lain dengan empati, tanpa mengabaikan kesejahteraan pribadi. Filosofi ini juga membantu menciptakan keseimbangan antara kerja keras dan menjaga kesehatan mental, yang sangat penting dalam lingkungan kerja yang sibuk.

Data Pendukung:

Penelitian Universitas Gadjah Mada (2022) menemukan bahwa hotel-hotel di Yogyakarta yang mengadopsi pendekatan berbasis budaya Jawa, termasuk nilai tepa selira, mencatat tingkat kepuasan tamu lebih tinggi (75%) dibandingkan hotel yang tidak menggunakan pendekatan tersebut (60%).

Integrasi Stoikisme dan Pitutur Jawa: Kekuatan dalam Sinergi

Mengapa kita tidak memilih salah satu filosofi saja? Karena keduanya saling melengkapi. Stoikisme memberikan ketangguhan mental, sementara pitutur Jawa memberikan kedalaman empati. Bersama-sama, keduanya menciptakan pendekatan yang seimbang antara rasionalitas dan kemanusiaan.

Contoh penerapan:

1. Ketika menghadapi tamu yang frustrasi karena kesalahan sistem, seorang profesional dapat menerapkan prinsip Stoik untuk tetap tenang dan tidak terpancing emosi.

2. Setelah itu, nilai tepa selira digunakan untuk memahami emosi tamu dan mencari solusi yang memuaskan.

Hasilnya adalah layanan yang tidak hanya efisien, tetapi juga penuh makna.

Inspirasi Global untuk Generasi Milenial, Gen Z, dan Alpha

Generasi muda sering mencari panduan praktis untuk navigasi karier mereka. Filosofi ini menawarkan prinsip yang dapat diterapkan sehari-hari. Sebagai contoh, dalam menghadapi tekanan kerja:

Stoikisme mengajarkan, “What stands in the way becomes the way” (Ryan Holiday).

Pitutur Jawa mengingatkan, “Urip iku sawang-sinawang” (Hidup itu soal perspektif).

Kombinasi kedua pandangan ini mengajarkan bahwa setiap hambatan adalah peluang jika kita mengubah cara pandang.

Mentoring: Membangun Karier Berbasis Filosofi

Seorang mentor dalam industri pariwisata tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga memberikan bimbingan filosofis. Bayangkan seorang pemimpin tim hotel mengajarkan stafnya untuk tetap tenang di tengah krisis dengan prinsip Stoik, sekaligus menginspirasi mereka untuk bekerja dengan hati melalui nilai nguwongke uwong (menghormati manusia sebagai manusia).

Hasilnya bukan hanya kesuksesan individu, tetapi juga keberhasilan tim secara kolektif.

Penutup: Mengukir Jejak yang Bermakna

Integrasi Stoikisme dan pitutur luhur Jawa bukan hanya teori, tetapi panduan nyata untuk membangun karier dan kehidupan yang bermakna. Filosofi ini mengajarkan kita untuk menjadi individu yang tangguh, empati, dan bijaksana—atribut yang sangat dibutuhkan di industri pariwisata.

Kepada generasi Milenial, Gen Z, dan Alpha, pesan kami para praktisi senior dalam industri adalah  jelas: Jadilah pembawa perubahan positif. Mulailah dari diri sendiri, dan biarkan dunia melihat bahwa dalam kesederhanaan, terdapat kekuatan yang luar biasa. Bangunlah fondasi inspiratif bagi diri sendiri untuk memulai perjalanan hidup dan karier dengan nilai-nilai yang kuat dan bermakna.

Jember, 16 Januari 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Marketing Branding

Share this:

n-JAWA-ni: Paduan Hard dan Soft Skills

Kunci Menuju Karier Puncak

Dalam dunia kerja, kita sering mendengar ungkapan bahwa hard skills membuka pintu, tetapi soft skills adalah kunci untuk mencapai keberhasilan. Kedua keterampilan ini bukanlah lawan, melainkan pasangan tak terpisahkan yang saling melengkapi. Dalam industri hospitality dan pariwisata—sektor yang sangat bergantung pada interaksi manusia dan pelayanan—perpaduan antara keduanya menjadi lebih penting dari sebelumnya.

Di era disrupsi digital, di mana teknologi semakin mendominasi, keterampilan teknis dapat dipelajari melalui kursus daring atau pelatihan intensif. Namun, kemampuan memahami emosi, membangun hubungan, dan menghadirkan solusi yang berbasis empati tetap menjadi domain yang tak tergantikan oleh mesin. Sebagai generasi muda, khususnya Milenial, Gen Z, dan Alpha, memahami sinergi antara hard skills dan soft skills adalah bekal esensial dalam membangun karier yang berkelanjutan.

Hard skills adalah pintu yang membuka jalan menuju kesempatan, tetapi soft skills adalah kunci untuk meraih keberhasilan sejati

Hard Skills: Fondasi yang Tak Tergantikan

Hard skills adalah kemampuan teknis yang terukur dan spesifik. Dalam industri hospitality, keterampilan ini mencakup manajemen reservasi, penguasaan software akuntansi hotel, hingga kemampuan bahasa asing. Laporan dari World Economic Forum (WEF) menunjukkan bahwa pada tahun 2025, 50% pekerja global membutuhkan upskilling untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan teknologi baru.

Namun, data dari LinkedIn Workplace Learning Report (2023) mengungkapkan bahwa hanya 31% perusahaan yang memberikan prioritas pada pelatihan soft skills, dibandingkan 69% pada hard skills. Fakta ini menunjukkan bahwa banyak organisasi masih memandang keterampilan teknis sebagai prioritas utama, meskipun kenyataan di lapangan membuktikan sebaliknya.

Soft Skills: Seni Menghidupkan Kesuksesan

Di sinilah soft skills memainkan perannya. Dalam bahasa Jawa, konsep adab dan unggah-ungguh menekankan pentingnya etika, sikap, dan perilaku sebagai penanda nilai seseorang. Filosofi ini selaras dengan prinsip global yang dikemukakan oleh Dale Carnegie, penulis How to Win Friends and Influence People, bahwa cara kita memperlakukan orang lain sering kali lebih penting daripada apa yang kita ketahui.

Soft skills seperti komunikasi efektif, kepemimpinan, empati, dan resolusi konflik tidak hanya membantu seseorang bekerja lebih baik dalam tim, tetapi juga memperkuat pengalaman pelanggan dalam konteks hospitality. Sebuah studi oleh Harvard Business Review menemukan bahwa 85% kesuksesan karier seseorang ditentukan oleh soft skills, sementara hard skills hanya menyumbang 15%.

Kolaborasi Hard dan Soft Skills: Studi Kasus

Mari kita ambil studi kasus sederhana dari dunia hospitality: seorang front desk officer di hotel berbintang. Dalam situasi normal, hard skills seperti penguasaan sistem pemesanan dan keterampilan bahasa asing membantu menyelesaikan pekerjaan administratif. Namun, ketika seorang tamu datang dengan keluhan, kemampuan mendengarkan secara aktif, berbicara dengan tenang, dan menunjukkan empati—semua bagian dari soft skills—menjadi penentu utama apakah tamu tersebut akan meninggalkan ulasan positif atau negatif.

Data dari Tripadvisor (2023) menunjukkan bahwa 78% ulasan negatif tentang hotel berasal dari pengalaman layanan yang buruk, bukan dari fasilitas yang kurang memadai. Hal ini mempertegas bahwa keberhasilan layanan lebih bergantung pada kualitas interaksi manusia daripada sekadar kemampuan teknis.

Pitutur Luhur Jawa dan Perspektif Global

Dalam budaya Jawa, terdapat ungkapan “Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman,” yang berarti jangan terjebak oleh ambisi terhadap kedudukan, materi, dan kepuasan sesaat. Nasihat ini mengajarkan bahwa keberhasilan sejati terletak pada harmoni antara kemampuan dan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan dunia.

Sementara itu, Simon Sinek, seorang pemimpin pemikiran global, mengatakan bahwa “Leadership is not about being in charge. It is about taking care of those in your charge.” Prinsip ini sejalan dengan leadership dalam budaya Jawa yang mengutamakan nguwongke uwong—memanusiakan manusia. Dalam konteks hospitality, ini berarti menciptakan pengalaman yang tulus bagi tamu, bukan sekadar memenuhi standar pelayanan.

Mengintegrasikan Hard dan Soft Skills: Strategi untuk Generasi Muda

Generasi Milenial, Gen Z, dan Alpha memiliki akses luas terhadap teknologi dan informasi. Namun, keberhasilan mereka tidak hanya ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang mereka kuasai, tetapi juga oleh bagaimana mereka menggunakan teknologi tersebut untuk memperkuat hubungan interpersonal.

1. Belajar Sepanjang Hayat:

Kombinasi hard dan soft skills membutuhkan pembelajaran terus-menerus. Generasi muda dapat memanfaatkan platform seperti LinkedIn Learning atau Coursera untuk mempelajari keterampilan teknis, sambil mengasah soft skills melalui pengalaman kerja nyata dan relasi sosial.

2. Menghormati Nilai Budaya Lokal:

Dalam dunia yang semakin global, keunikan budaya lokal seperti filosofi Jawa dapat menjadi daya tarik tersendiri. Misalnya, mengintegrasikan konsep tepa selira (tenggang rasa) dalam pelayanan pelanggan dapat menciptakan pengalaman yang tak terlupakan.

3. Kolaborasi Perspektif Global:

Soft skills seperti komunikasi lintas budaya dan pemecahan masalah kolaboratif menjadi sangat penting dalam industri hospitality yang melibatkan berbagai bangsa dan budaya. Menjadi generasi yang adaptable adalah kunci untuk bersaing di pasar global.

Penutup

Hard skills adalah pintu yang membuka jalan menuju kesempatan, tetapi soft skills adalah kunci untuk meraih keberhasilan sejati. Dalam industri hospitality dan pariwisata, perpaduan keduanya menciptakan pengalaman luar biasa yang meninggalkan kesan mendalam.

Sebagai generasi muda, kita perlu mengintegrasikan nilai-nilai lokal seperti unggah-ungguh dengan prinsip global tentang empati dan kepemimpinan. Dengan melakukan ini, kita tidak hanya menjadi profesional yang kompeten, tetapi juga individu yang memberikan dampak positif dalam dunia kerja dan kehidupan sosial.

Seperti yang dikatakan oleh Confucius, “The superior man is modest in his speech but exceeds in his actions.” Maka, mari kita berkomitmen untuk terus belajar, bertindak dengan tulus, dan menjadikan keterampilan kita sebagai alat untuk membawa perubahan yang berarti.

Jember, 15 January 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Marketing Branding

Share this:

n-JAWA-ni: Menguasai Manajemen Reservasi Hotel

Mengelola KPI untuk Kesuksesan Revenue

Industri perhotelan selalu berkembang, menuntut setiap pelaku bisnisnya untuk terus beradaptasi. Salah satu keterampilan utama yang harus dikuasai adalah mengelola Key Performance Indicators (KPI). KPI bukan sekadar angka di laporan, tetapi cermin kinerja yang membantu kita membuat keputusan strategis. Dalam pengelolaan reservasi dan pendapatan hotel, memahami dan menerapkan KPI dengan tepat menjadi kunci kesuksesan yang berkelanjutan.

Filosofi Jawa “Alon-alon asal kelakon” mengajarkan kita untuk bekerja dengan penuh perhitungan, tanpa terburu-buru. Dipadukan dengan semangat global “What gets measured gets managed” dari Peter Drucker, KPI menjadi alat untuk meraih keberhasilan melalui pendekatan yang bijak dan berbasis data.

Mengapa KPI Penting?

KPI adalah alat ukur yang memberikan gambaran tentang seberapa baik hotel Anda berjalan. Dengan KPI, Anda bisa mengetahui area mana yang perlu ditingkatkan dan strategi apa yang paling efektif untuk diterapkan. Bagi generasi Milenial, Gen Z, dan Alpha yang akrab dengan teknologi dan data, KPI menjadi sarana untuk memahami bisnis dengan pendekatan modern.

Namun, penguasaan KPI tidak sekadar berbicara angka. Filosofi Jawa “Memayu hayuning bawana” mengingatkan kita bahwa keberhasilan harus menciptakan keseimbangan, baik untuk tamu, karyawan, maupun pemangku kepentingan lainnya.

Lima KPI Utama dalam Manajemen Revenue Hotel

Berikut adalah lima KPI yang wajib dipahami dan bagaimana setiap indikator tersebut dapat membantu meningkatkan pendapatan hotel Anda:

1. Occupancy Rate (Tingkat Hunian)

Tingkat hunian menunjukkan persentase kamar yang terjual dari total kamar yang tersedia. Ini adalah indikator dasar yang menggambarkan seberapa efektif hotel Anda menarik tamu.

Rumus:

Occupancy Rate = (Jumlah Kamar Terjual ÷ Total Kamar Tersedia) × 100

Contoh Praktis:

Jika hotel Anda memiliki 100 kamar dan 80 kamar terjual dalam satu malam, tingkat hunian adalah:

(80 ÷ 100) × 100 = 80%

Filosofi Jawa:

“Rame ing gawe, sepi ing pamrih”—kerja keras tanpa pamrih pribadi. Tingkat hunian tinggi hanya bisa dicapai jika kita benar-benar fokus memberikan pelayanan terbaik bagi tamu, bukan hanya mengejar keuntungan.

2. ADR (Average Daily Rate)

ADR mengukur pendapatan rata-rata per kamar yang terjual. KPI ini membantu Anda memahami seberapa baik strategi harga yang diterapkan.

Rumus:

ADR = Total Pendapatan Kamar ÷ Jumlah Kamar Terjual

Contoh Praktis:

Jika pendapatan kamar dalam satu malam adalah Rp800 juta dan 80 kamar terjual, ADR adalah:

Rp800 juta ÷ 80 = Rp10 juta

Motivasi Global:

Kutipan dari Winston Churchill, “Success is not final, failure is not fatal: It is the courage to continue that counts,” mengingatkan kita bahwa menentukan harga harus melalui proses belajar, eksperimen, dan keberanian untuk terus menyesuaikan diri dengan kondisi pasar.

3. RevPAR (Revenue Per Available Room)

RevPAR memberikan gambaran lebih luas tentang pendapatan per kamar yang tersedia, menggabungkan tingkat hunian dan ADR.

Rumus:

RevPAR = Occupancy Rate × ADR

Atau

RevPAR = Total Pendapatan Kamar ÷ Total Kamar Tersedia

Contoh Praktis:

Jika tingkat hunian adalah 80% dan ADR Rp10 juta, RevPAR adalah:

80% × Rp10 juta = Rp8 juta

Filosofi Jawa:

RevPAR adalah wujud dari “Kawula mung sadermo, Gusti kang makaryo,” yang berarti usaha maksimal manusia dipadukan dengan hasil yang ditentukan oleh kebijaksanaan lebih besar. Dalam bisnis, ini berarti kita harus bekerja keras sambil tetap adaptif terhadap perubahan pasar.

4. TrevPAR (Total Revenue Per Available Room)

Berbeda dengan RevPAR, TrevPAR mencakup semua sumber pendapatan, termasuk F&B, spa, dan fasilitas lainnya.

Rumus:

TrevPAR = Total Pendapatan ÷ Total Kamar Tersedia

Contoh Praktis:

Jika total pendapatan hotel adalah Rp1,2 miliar dan total kamar tersedia 100, maka TrevPAR adalah:

Rp1,2 miliar ÷ 100 = Rp12 juta

Inspirasi:

Albert Einstein pernah berkata, “Strive not to be a success, but rather to be of value.” Meningkatkan TrevPAR berarti menciptakan pengalaman menyeluruh bagi tamu, lebih dari sekadar menjual kamar.

5. GOPPAR (Gross Operating Profit Per Available Room)

GOPPAR adalah indikator paling komprehensif, karena mencerminkan profitabilitas setelah dikurangi semua biaya operasional.

Rumus:

GOPPAR = Laba Operasi Kotor ÷ Total Kamar Tersedia

Contoh Praktis:

Jika laba operasi kotor hotel adalah Rp600 juta dengan 100 kamar tersedia, GOPPAR adalah:

Rp600 juta ÷ 100 = Rp6 juta

Filosofi Jawa:

“Becik ketitik ala ketara,” yang berarti hasil baik atau buruk dari tindakan akan terlihat pada akhirnya. GOPPAR menunjukkan apakah strategi bisnis benar-benar efektif secara finansial.

Strategi Praktis untuk Mengoptimalkan KPI

1. Tingkatkan Nilai Tambah Layanan:

Manfaatkan fasilitas hotel, seperti rooftop lounge atau infinity pool, untuk menciptakan pengalaman unik bagi tamu.

2. Gunakan Teknologi:

Implementasi revenue management system (RMS) dapat membantu memprediksi permintaan pasar dan menyesuaikan harga secara dinamis.

3. Latih Tim Anda:

Pastikan seluruh tim memahami pentingnya KPI dan bagaimana mereka berkontribusi dalam pencapaiannya.

4. Pantau Tren Pasar:

Selalu evaluasi data KPI untuk menyesuaikan strategi dengan perubahan kebutuhan pasar.

KPI sebagai Kompas Kesuksesan

Mengelola KPI dalam manajemen revenue hotel adalah seni mengintegrasikan data, teknologi, dan nilai-nilai manusia. Filosofi Jawa seperti “Ngudi susilo natas nitis titis” mengingatkan kita untuk selalu bekerja dengan penuh dedikasi dan ketelitian. Sementara itu, kutipan global seperti “The future belongs to those who prepare for it today” (Malcolm X) menginspirasi kita untuk terus belajar dan beradaptasi.

Dengan memahami KPI dan menerapkannya secara konsisten, kita dapat memastikan hotel berjalan dengan efisien, mengoptimalkan pendapatan, dan menciptakan pengalaman tamu yang tak terlupakan. Mari jadikan KPI sebagai kompas yang mengarahkan langkah menuju kesuksesan jangka panjang di industri perhotelan. “Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan”—optimis dan terus berjuang!

Jember, 6 January 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Marketing Branding

Share this:

n-JAWA-ni: Dari Angan Meretas Impian Meraih Aksi

Filosofi Jawa dan Hikmah Perspektif Global untuk Generasi Penerus

Menghidupkan Semangat Perubahan

Generasi Milenial, Gen Z, dan Alpha lahir di tengah arus globalisasi dan revolusi digital. Mereka menghadapi tantangan besar, namun juga memiliki peluang tak terbatas. Dalam menghadapi dunia yang serba cepat, penting bagi kita untuk menemukan pijakan yang kokoh. Filosofi Jawa dengan pitutur luhur yang mendalam dapat menjadi panduan, sementara perspektif global memberikan semangat universal untuk bergerak. Perpaduan keduanya mampu menginspirasi tindakan nyata, yang merupakan kunci keberhasilan di era modern.

Dengan aksi, segala hal menjadi mungkin. Dunia membutuhkan generasi yang tidak hanya bermimpi besar tetapi juga bertindak tanpa henti.

Bagian I: Filosofi Jawa – Pilar Kehidupan yang Relevan Sepanjang Masa

Pitutur luhur Jawa adalah warisan yang sarat makna dan penuh kebijaksanaan. Salah satu yang relevan adalah “Urip iku urup” (Hidup itu menyala). Filosofi ini mengajarkan bahwa hidup yang berarti adalah hidup yang bermanfaat bagi orang lain. Dalam konteks kehidupan dan pekerjaan, filosofi ini mendorong kita untuk berkontribusi secara nyata kepada komunitas, menciptakan dampak positif yang meluas.

Selanjutnya, ada ungkapan “Alon-alon asal kelakon” (Perlahan tapi pasti). Dalam dunia yang dipenuhi dengan tekanan untuk serba cepat, filosofi ini mengingatkan bahwa keberhasilan adalah perjalanan yang membutuhkan ketekunan. Progres kecil yang konsisten sering kali lebih efektif dibandingkan langkah besar yang terhenti di tengah jalan.

Filosofi ini juga memperkuat prinsip bahwa aksi kecil, bila dilakukan terus-menerus, dapat menciptakan perubahan besar. Seperti yang dikatakan dalam peribahasa global, “A journey of a thousand miles begins with a single step” (Lao Tzu).

Bagian II: Inspirasi Global – Dorongan untuk Bertindak

Selain kearifan lokal, inspirasi global memberikan perspektif yang mendalam tentang pentingnya tindakan. Kutipan dari Eleanor Roosevelt, “The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams,” mengingatkan bahwa mimpi adalah langkah awal, tetapi aksi yang membuatnya menjadi nyata. Mimpi tanpa aksi hanyalah angan, sementara aksi tanpa visi sering kali menjadi langkah yang sia-sia.

Aksi adalah bentuk keberanian. Winston Churchill pernah berkata, “Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts.” Kutipan ini relevan dengan filosofi Jawa “Tuna satak bathi sanak” (Rugi harta, untung saudara) yang menekankan bahwa kegagalan bukanlah akhir, melainkan bagian dari proses pembelajaran.

Bagian III: Data dan Fakta untuk Mendukung Aksi Nyata

Melalui studi kasus dan data, kita dapat melihat realitas yang mencerminkan pentingnya tindakan:

1. 100% Orang Memiliki Mimpi

Semua orang memiliki aspirasi, tetapi tidak semua berani mewujudkannya.

2. 70-80% Menyuarakan Mimpi Mereka

Sebagian besar orang berbicara tentang impian mereka, tetapi sering kali berhenti pada wacana tanpa tindakan.

3. 30-40% Membentuk Kebiasaan yang Mendukung

Hanya sebagian kecil yang mampu menciptakan pola kebiasaan yang selaras dengan tujuan mereka.

4. 10-20% Melakukan Aksi Konsisten

Kelompok inilah yang berhasil, karena mereka melangkah dengan tekad tanpa henti.

Statistik ini mengingatkan bahwa untuk setiap mimpi besar, hanya sedikit yang benar-benar mencapai garis akhir karena aksi yang konsisten adalah kuncinya.

Bagian IV: Empat Langkah Menuju Transformasi Mimpi Menjadi Aksi

1. Berani Bermimpi (Dream Boldly)

Filosofi Jawa: “Ngudi kamulyan” (Mengejar kejayaan). Bermimpilah tanpa batas, bayangkan kemungkinan terbaik yang dapat Anda capai, dan biarkan visi itu membakar semangat Anda.

2. Ucapkan Impian dengan Tegas (Speak It Loudly)

Berbicaralah tentang impian Anda seperti menanam benih. Ketika Anda membagikannya, Anda tidak hanya memberi hidup pada mimpi tersebut tetapi juga membangun komitmen pada diri sendiri.

3. Ciptakan Kebiasaan (Trigger Habits)

Filosofi Jawa: “Mikul dhuwur mendhem jero” (Menjunjung tinggi nilai besar). Kebiasaan kecil yang dilakukan setiap hari adalah pilar menuju perubahan besar. Atur pemicu yang mendorong Anda untuk bertindak secara konsisten.

4. Bertindak Tanpa Penundaan (Act Relentlessly)

Jangan biarkan overthinking menghambat Anda. Filosofi Jawa: “Wani ngalah luhur wekasane” (Berani mengalah demi hasil yang lebih baik) mengajarkan bahwa keberanian dan kerendahan hati dalam bertindak sering kali membuka jalan menuju keberhasilan yang lebih besar.

Bagian V: Mengatasi Hambatan – Aksi Adalah Obatnya

Banyak orang terjebak dalam lingkaran keraguan dan kecemasan. Namun, aksi adalah obat dari semua itu. Dalam tindakan, Anda tidak hanya bergerak maju tetapi juga membebaskan diri dari:

Overthinking yang menjerat.

Kecemasan yang muncul dari penundaan.

Keraguan yang mengaburkan keyakinan.

Kurangnya rasa percaya diri yang membuat Anda kecil.

Aksi menciptakan momentum, dan momentum menciptakan kepercayaan diri. Ingatlah bahwa tindakan kecil lebih baik daripada tidak bertindak sama sekali.

Kearifan Lokal dan Inspirasi Global untuk Generasi Penerus

Kombinasi antara filosofi Jawa dan perspektif global adalah panduan yang relevan untuk generasi penerus. Dari “Urip iku urup” hingga kutipan seperti “Action cures fear,” keduanya mengajarkan pentingnya tindakan dalam mewujudkan mimpi.

Pesannya sederhana: tanpa aksi, tidak ada perubahan. Namun dengan aksi, segala hal menjadi mungkin. Dunia membutuhkan generasi yang tidak hanya bermimpi besar tetapi juga bertindak tanpa henti.

Jadi, langkah mana yang telah Anda tempuh hari ini?

Karena dunia ini bergerak hanya ketika Anda melangkah maju. Sekarang adalah waktu Anda untuk bertindak.

Jember, 4 January 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Marketing Branding

Share this:

n-JAWA-ni: Level Up Leadership

Kearifan Lokal Jawa & Perspektif Global yang Bikin Kamu Stand Out

Generasi milenial, Gen Z, dan Alpha punya satu kesamaan: mereka ingin lebih dari sekadar ‘kerja’. Mereka butuh makna, relevansi, dan inspirasi dalam hidup dan karier mereka. Tapi gimana caranya? Salah satu jawabannya adalah dengan memahami konsep kepemimpinan yang nggak cuma relevan, tapi juga timeless. Di sini, kearifan lokal Jawa seperti pitutur luhur (nasihat bijak) bisa banget jadi blueprint yang dikombinasikan dengan filosofi global untuk menciptakan generasi pemimpin masa depan yang game changer.

Esai ini akan membahas gimana filosofi Jawa dan perspektif global bisa nge-boost kepemimpinan modern. Nggak cuma teori, kita juga akan bahas data real dan studi kasus biar makin relatable. Siap jadi pemimpin yang nggak cuma sukses, tapi juga impactful?

Yuk, kita mulai!

1. Lead by Example: “Laku Utomo, Tindak Luhur”

Dalam budaya Jawa, pemimpin sejati adalah mereka yang walk the talk. Laku utomo (perilaku utama) dan tindak luhur (tindakan mulia) mengajarkan kita untuk menjadi teladan, bukan cuma tukang perintah. Kalau di dunia modern, ini mirip banget sama gaya kepemimpinan Kobe Bryant yang bilang, “Great things come from hard work and perseverance. No excuses.”

Studi Kasus: Inspirasi yang Real

Menurut survei Gallup (2022), tim yang dipimpin oleh pemimpin inspiratif punya tingkat keterlibatan karyawan mencapai 73%. Bandingkan sama tim yang dipimpin secara otoriter: cuma 34%. Pemimpin yang jadi role model bikin timnya merasa dihargai dan termotivasi buat kasih yang terbaik.

Takeaway untuk Kamu

Jadi pemimpin yang walk the talk. Jangan cuma ngomong, tunjukin dengan aksi nyata.

Tunjukkan bahwa kamu berani memulai perubahan, biar tim kamu ikut semangat.

2. Ajining Diri Dumunung Ana ing Lathi: Komunikasi yang Nyampe

Ini adalah pepatah Jawa yang berarti “harga diri seseorang ada di ucapannya.” Dalam kepemimpinan, ini artinya komunikasi adalah kunci. Kalau feedback yang kamu kasih nggak jelas atau malah toxic, bukannya bikin tim termotivasi, malah bikin mereka down.

Komparasi Global

Ken Blanchard pernah bilang, “Feedback is the breakfast of champions.” Tapi ingat, feedback yang baik itu seperti desain yang keren: sederhana, jelas, dan impactful. Studi dari Harvard Business Review (2021) juga menunjukkan, 67% karyawan merasa lebih termotivasi setelah menerima feedback yang jujur tapi mendukung.

Tips buat Kamu

Kasih feedback dengan gaya “3C”: Clear, Concise, Constructive.

Hindari kritik yang bikin tim merasa gagal. Fokus pada solusi, bukan masalah.

3. Ngudi Kasampurnan: Jadi Pemimpin yang Selalu Belajar

Generasi sekarang nggak suka pemimpin yang merasa paling tahu segalanya. Dalam filosofi Jawa, ngudi kasampurnan artinya terus belajar dan memperbaiki diri. Pemimpin yang sukses adalah mereka yang selalu membuka ruang buat eksplorasi dan inovasi.

Studi Kasus: Fail Fast, Learn Faster

Pemimpin seperti Elon Musk atau Jeff Bezos punya satu kesamaan: mereka nggak takut gagal. Bahkan, mereka menganggap kegagalan adalah bagian dari perjalanan menuju sukses. Deloitte (2023) mencatat, perusahaan yang berinvestasi dalam inovasi menunjukkan peningkatan produktivitas hingga 40% dalam lima tahun.

Mindset untuk Kamu

Jangan takut salah. Kesalahan adalah bagian dari proses belajar.

Dorong tim kamu buat eksplorasi ide-ide baru, meskipun nggak semua berhasil.

4. Adigang, Adigung, Adiguna: Pemimpin yang Rendah Hati, Bukan Bossy

Pepatah ini memperingatkan kita tentang bahaya arogan, merasa paling hebat, atau terlalu mendominasi. Generasi sekarang lebih respect sama pemimpin yang down to earth, bukan yang bossy. Seperti kata John C. Maxwell, “A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way.”

Studi Kasus: Kolaborasi vs Kompetisi

Menurut Forbes (2024), perusahaan dengan budaya kerja inklusif punya tingkat retensi karyawan 50% lebih tinggi dibanding yang masih pake gaya hierarkis tradisional.

Prinsip yang Bisa Kamu Terapkan

Hindari gaya kepemimpinan otoriter. Fokus pada kolaborasi.

Tunjukkan bahwa kesuksesan tim adalah prioritas utama, bukan ego pribadi.

5. Manunggaling Kawula Gusti: Transformasi, Bukan Sekadar Kepemimpinan

Dalam filosofi Jawa, manunggaling kawula gusti menggambarkan harmoni antara pemimpin dan anggota tim. Pemimpin yang hebat nggak cuma mengejar target, tapi juga menginspirasi tim buat jadi versi terbaik dari diri mereka.

Data yang Mendukung

Studi McKinsey (2023) menunjukkan, 85% karyawan lebih puas bekerja dengan pemimpin yang berinvestasi dalam pengembangan mereka. Ini bukti bahwa kepemimpinan yang berfokus pada transformasi individu membawa dampak positif jangka panjang.

Quotes untuk Kamu

“Leadership is not about being in charge. It is about taking care of those in your charge.” – Simon Sinek.

Kesimpulan: Pemimpin Masa Depan yang Relevan dan Inspiratif

Jadi pemimpin itu bukan soal jabatan atau kekuasaan. Ini tentang bagaimana kamu bisa membawa perubahan yang positif, nggak cuma buat tim, tapi juga dunia. Filosofi pitutur luhur Jawa seperti laku utomo, ajining diri, dan ngudi kasampurnan adalah warisan yang relevan banget untuk generasi sekarang. Kalau dikombinasikan dengan prinsip global, kamu bisa jadi pemimpin yang nggak cuma sukses, tapi juga impactful.

Aksi Nyata yang Bisa Kamu Lakukan

1. Tunjukkan teladan dalam tindakan sehari-hari.

2. Berani kasih feedback yang membangun, bukan menjatuhkan.

3. Dorong tim kamu buat belajar dan berinovasi.

4. Hindari arogan, jadi pemimpin yang rendah hati dan kolaboratif.

5. Fokus pada pengembangan anggota tim, bukan sekadar pencapaian target.

Seperti kata Mahatma Gandhi, “Be the change you wish to see in the world.” Kamu nggak cuma bisa jadi pemimpin, tapi juga inspirasi. Waktunya level up dan jadi pemimpin yang benar-benar beda!

Jember, 2 January 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Marketing Branding

Share this:

n-JAWA-ni: Merangkai Harmoni Generasi Z dan Milenial Masa Depan Dunia Kerja

Era globalisasi dan digitalisasi membawa perubahan besar dalam dunia kerja. Generasi Milenial (lahir 1981–1996) dan Generasi Z (lahir 1997–2012) kini mendominasi angkatan kerja, membawa harapan, ekspektasi, dan cara kerja baru. Generasi ini memiliki karakteristik yang menonjol, seperti pemanfaatan teknologi, semangat kolaborasi, dan kesadaran terhadap isu-isu sosial serta keseimbangan kehidupan kerja.

Namun, perbedaan generasi sering kali menciptakan tantangan. Untuk itu, diperlukan pendekatan yang berakar pada nilai-nilai budaya lokal, seperti pitutur luhur Jawa, sekaligus memanfaatkan perspektif global modern. Dalam artikel ini, kita akan mempelajari bagaimana memadukan filosofi Jawa, seperti tepa selira dan aja dumeh, dengan wawasan global seperti yang dirangkum dalam infografik dari Justin Wright, untuk memberikan solusi inovatif yang relevan bagi Milenial dan Generasi Z.

Karakteristik Generasi Milenial dan Z: Studi Kasus Data

Berdasarkan infografik yang dilampirkan, berikut adalah penjabaran mendalam tentang perbedaan dua generasi ini:

1. Defining Traits (Karakteristik Utama):

Milenial: Tech-savvy, kolaboratif, dan sadar sosial.

Generasi Z: Digital-native, wirausaha, adaptif, dan menghargai keberagaman.

2. Core Values (Nilai Inti):

Milenial: Berfokus pada pertumbuhan, tujuan, dan kerja tim.

Generasi Z: Menekankan individualitas, autentisitas, dan kesehatan mental.

3. Preferred Work Style (Gaya Kerja):

Milenial: Kolaborasi dengan umpan balik langsung.

Generasi Z: Fleksibilitas dan adaptabilitas melalui teknologi.

4. Communication Preferences (Preferensi Komunikasi):

Milenial: Lebih suka platform kolaborasi langsung, seperti Zoom atau Slack.

Generasi Z: Digital-first, lebih memilih teks dan platform seperti WhatsApp atau media sosial.

5. Preferred Benefits (Manfaat yang Disukai):

Milenial: Program pengembangan karir dan kesejahteraan.

Generasi Z: Dukungan kesehatan mental dan pengaturan kerja hybrid.

Menghubungkan Pitutur Jawa dengan Perspektif Global

Di tengah dinamika generasi, filosofi Jawa menawarkan solusi harmonisasi yang mendalam. Nilai-nilai ini tidak hanya relevan untuk masyarakat tradisional tetapi juga dapat diterapkan secara universal dalam dunia kerja modern.

1. Tepa Selira dan Empati Filosofi Jawa tepa selira (menghormati dan memahami orang lain) menjadi landasan penting dalam membangun kerja tim lintas generasi. Hal ini sejalan dengan kutipan global dari Chris Voss: “Empathy is the highest form of intelligence.” Penerapan tepa selira dapat mendorong komunikasi yang lebih inklusif, terutama di antara pemimpin dan anggota tim dari generasi yang berbeda.

2. Aja Dumeh dan Kerendahan Hati Aja dumeh (jangan sombong) adalah pengingat bagi para pemimpin untuk bersikap rendah hati. Ini sesuai dengan prinsip Simon Sinek: “Leadership is not about being in charge. It is about taking care of those in your charge.” Dalam dunia kerja modern, pendekatan ini dapat diterapkan melalui mentoring dan pelatihan berbasis empati.

3. Urip Iku Urup dan Kolaborasi Urip iku urup (hidup itu memberi manfaat) mengajarkan bahwa hidup harus membawa kebaikan bagi orang lain. Konsep ini mendukung budaya kerja kolaboratif, di mana kontribusi setiap individu dihargai. Kutipan dari John Maxwell, “Teamwork makes the dream work,” menjadi relevan dalam konteks ini.

4. Jer Basuki Mawa Bea dan Dedikasi Filosofi jer basuki mawa bea (kesuksesan membutuhkan usaha) relevan dalam mendorong etos kerja generasi muda. Hal ini juga mengingatkan bahwa kesuksesan karir tidak terjadi secara instan, melainkan melalui kerja keras, dedikasi, dan pembelajaran.

Membentuk Dunia Kerja yang Inklusif

Berdasarkan karakteristik dan nilai-nilai ini, berikut adalah solusi yang dapat diterapkan untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif:

1. Program Kesehatan Mental Generasi Z sangat memperhatikan kesehatan mental mereka. Filosofi Jawa olah rasa (melatih emosi dan introspeksi) dapat diterjemahkan ke dalam program kesehatan mental di tempat kerja, seperti sesi mindfulness, terapi konseling, atau cuti kesehatan mental.

2. Pengembangan Karir yang Berkelanjutan Filosofi ngudi kawruh (mencari ilmu) mendorong perusahaan untuk menyediakan peluang pengembangan karir, seperti e-learning, pelatihan, dan mentoring. Generasi Milenial yang haus akan pembelajaran akan merespons positif inisiatif ini.

3. Fleksibilitas Kerja Generasi Z menghargai pengaturan kerja hybrid yang memungkinkan mereka bekerja secara fleksibel. Prinsip bhinneka tunggal ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) mengingatkan bahwa kebutuhan individu harus diakomodasi untuk menciptakan harmoni.

4. Pemimpin Sebagai Mentor Inspirasi dari ajaran Jawa satriya pinandhita (pemimpin yang bijak) dapat diterapkan untuk mendorong gaya kepemimpinan yang membimbing dan mendukung. Pemimpin diharapkan mampu menjadi inspirasi, bukan sekadar atasan.

5. Penggunaan Teknologi untuk Efisiensi Generasi Z adalah digital-native. Perusahaan harus mengintegrasikan alat-alat teknologi seperti Trello, Slack, atau Notion untuk menciptakan alur kerja yang efisien. Pendekatan ini juga mendukung kolaborasi lintas generasi.

Komparasi Kuantitatif

Studi dari Deloitte pada tahun 2023 menunjukkan bahwa:

70% Generasi Z menyatakan bahwa fleksibilitas kerja adalah prioritas utama, sementara 58% Milenial lebih fokus pada pengembangan karir.

65% Milenial merasa lebih produktif dalam lingkungan kerja kolaboratif dibandingkan dengan 45% Generasi Z.

Sebanyak 80% Generasi Z mengatakan bahwa keseimbangan kerja-kehidupan sangat penting untuk mempertahankan loyalitas mereka terhadap perusahaan.

Dalam menghadapi tantangan dunia kerja modern, pengintegrasian nilai-nilai lokal seperti pitutur luhur Jawa dengan wawasan global dapat menciptakan solusi yang inovatif dan inklusif. Generasi Milenial dan Z adalah penggerak perubahan, dan dengan pendekatan yang tepat, mereka dapat membangun masa depan dunia kerja yang lebih harmonis, manusiawi, dan berkelanjutan.

Seperti kata Albert Einstein, “Try not to become a person of success, but rather try to become a person of value.” Esai ini bertujuan menginspirasi pemimpin, organisasi, dan generasi muda untuk menerapkan nilai-nilai baik dalam menciptakan tempat kerja yang memotivasi dan memberdayakan semua pihak.

Jember, 31 Desember 2024

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Marketing Branding

Share this:

n-JAWA-ni: Seni Wawancara Kerja Ngudi Luhuring Budi

Membangun Daya Saing di Dunia Hospitality

Hospitality adalah dunia yang penuh dengan dinamika, di mana keramahan, pelayanan unggul, dan kemampuan memahami kebutuhan orang lain menjadi kekuatan utama. Untuk bisa sukses di industri ini, seseorang tidak hanya harus terampil tetapi juga mampu menjual dirinya sebagai aset yang berharga. Salah satu momen penting yang menentukan langkah ini adalah wawancara kerja.

Dalam wawancara kerja, kita tidak hanya diuji soal kompetensi, tetapi juga visi, misi, dan nilai-nilai pribadi yang kita bawa. Filosofi Jawa “Urip iku urup” (hidup itu menyala) mengingatkan kita bahwa setiap individu harus memberi manfaat bagi lingkungan sekitar. Sebuah wawancara adalah momen di mana kita menunjukkan bagaimana kita bisa menjadi “nyala api” yang memberi terang dalam perjalanan karier kita. Dalam tulisan ini, kita akan membahas seni wawancara kerja, dipadukan dengan nilai-nilai Jawa dan prinsip universal, untuk menciptakan inspirasi bagi para profesional hospitality dan pariwisata.

Dalam wawancara kerja, kita tidak hanya diuji soal kompetensi, tetapi juga visi, misi, dan nilai-nilai pribadi yang kita bawa.

Mengenal Diri untuk Memulai Perjalanan Karier

Sebuah pertanyaan umum dalam wawancara kerja adalah, “Ceritakan tentang diri Anda.” Ini adalah kesempatan emas untuk menggambarkan diri Anda sebagai kandidat ideal. Di dunia hospitality, menjawab pertanyaan ini tidak hanya soal menyebutkan pencapaian, tetapi juga bagaimana Anda mengartikulasikan perjalanan hidup yang membentuk Anda menjadi pribadi seperti sekarang.

Misalnya, jika Anda memulai karier dari posisi entry-level, seperti waiter atau housekeeper, ceritakan bagaimana pengalaman itu memberi Anda pelajaran tentang ketekunan dan empati. Filosofi Jawa “Aja gumunan, aja getunan” mengingatkan kita untuk tidak mudah terkejut atau menyesali keadaan. Dalam hospitality, pengalaman kecil adalah pondasi besar. Selalu kaitkan perjalanan Anda dengan apa yang bisa Anda bawa ke perusahaan tempat Anda melamar.

Tunjukkan kepada pewawancara bahwa Anda memiliki passion yang mendalam untuk melayani, dengan menjelaskan bagaimana pengalaman-pengalaman Anda membangun keterampilan interpersonal, komunikasi, dan manajemen waktu.

Motivasi dan Visi: Alasan Memilih Perusahaan

Ketika pewawancara bertanya, “Mengapa Anda ingin bekerja di perusahaan ini?”, mereka ingin mendengar seberapa besar Anda memahami perusahaan mereka dan bagaimana Anda cocok dengan budaya kerja mereka. Di sinilah pentingnya riset mendalam tentang perusahaan sebelum wawancara.

Hospitality adalah industri yang sangat bergantung pada nilai-nilai perusahaan, seperti keramahan, kepercayaan, dan inovasi layanan. Filosofi Jawa “Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake” mengajarkan bahwa dalam setiap usaha, kita harus membawa niat tulus untuk belajar dan berkontribusi. Sebutkan bahwa Anda tertarik pada perusahaan karena nilai-nilainya selaras dengan prinsip Anda. Misalnya, jika perusahaan memiliki inisiatif keberlanjutan, kaitkan hal tersebut dengan pandangan Anda tentang pentingnya keberlanjutan dalam dunia pariwisata.

Tunjukkan antusiasme yang tulus dengan mengatakan, “Saya ingin menjadi bagian dari visi perusahaan ini untuk menciptakan pengalaman tak terlupakan bagi tamu, sekaligus terus belajar dan berkembang.”

Menghadapi Tekanan: Seni Tetap Tenang di Tengah Badai

Hospitality sering kali menuntut seseorang untuk tetap tenang meski berada dalam tekanan tinggi, seperti menghadapi tamu yang marah, menangani situasi overbooking, atau mengelola acara besar. Pewawancara sering kali ingin tahu bagaimana Anda menangani situasi seperti ini dengan pertanyaan, “Bagaimana Anda menangani tekanan?”

Berikan contoh spesifik, misalnya saat Anda harus mengelola konflik dengan tamu yang tidak puas. Jelaskan bagaimana Anda menggunakan keterampilan komunikasi untuk meredakan situasi, sambil tetap memberikan solusi. Pitutur Jawa “Sepi ing pamrih, rame ing gawe” (bekerja tanpa pamrih, fokus pada hasil) adalah panduan sempurna dalam situasi ini.

Jelaskan bahwa setiap tekanan adalah peluang untuk belajar. Misalnya, katakan, “Dari setiap tantangan yang saya hadapi, saya selalu memastikan untuk mengevaluasi apa yang bisa saya pelajari agar ke depannya dapat menangani situasi serupa dengan lebih baik.”

Kekuatan dan Kelemahan: Refleksi Diri untuk Tumbuh

Pertanyaan ini sering menjadi titik krusial dalam wawancara. Dalam hospitality, kekuatan Anda mungkin berupa keterampilan interpersonal yang luar biasa atau kemampuan multitasking. Ceritakan kekuatan Anda dengan cara yang relevan untuk posisi yang Anda lamar. Misalnya, jika Anda melamar sebagai supervisor, katakan bahwa kekuatan Anda adalah kemampuan memimpin tim dan menjaga motivasi mereka.

Namun, ketika berbicara tentang kelemahan, pastikan kelemahan tersebut bukan sesuatu yang menjadi inti dari pekerjaan Anda. Filosofi Jawa “Ngudi luhuring budi” mengajarkan kita untuk selalu mencari perbaikan dalam karakter. Misalnya, jika kelemahan Anda adalah berbicara di depan umum, ceritakan langkah-langkah yang telah Anda ambil untuk mengatasinya, seperti mengikuti pelatihan atau kursus.

Budaya Kerja: Membangun Kolaborasi dan Komunikasi

Kerja sama adalah tulang punggung hospitality. Ketika ditanya tentang pengalaman bekerja dengan rekan yang sulit, gunakan contoh nyata di mana Anda menunjukkan empati dan komunikasi yang efektif. Ceritakan bagaimana Anda mendengarkan dengan hati-hati, menawarkan solusi, dan menjaga profesionalisme.

“Wong sabar rejekine jembar” mengingatkan bahwa kesabaran adalah kunci untuk menciptakan harmoni dalam tim. Misalnya, katakan, “Saya selalu berusaha melihat dari sudut pandang rekan kerja saya untuk memahami perasaan mereka, karena saya percaya komunikasi yang baik adalah kunci keberhasilan tim.”

Manajemen Waktu: Kunci Menangani Tanggung Jawab

Hospitality adalah dunia multitasking. Ketika ditanya bagaimana Anda mengatur waktu, jelaskan bagaimana Anda menetapkan prioritas. Misalnya, katakan bahwa Anda menggunakan prinsip Eisenhower Matrix untuk membedakan antara tugas yang mendesak dan penting.

Berikan contoh spesifik, seperti, “Ketika saya bekerja di bagian event, saya harus menangani beberapa tugas sekaligus, seperti berkoordinasi dengan vendor dan memastikan kebutuhan tamu terpenuhi. Saya mengatur jadwal secara rinci untuk memastikan semua berjalan lancar.”

Pepatah “Alon-alon asal kelakon” mengajarkan bahwa kualitas harus diutamakan daripada kecepatan semata. Ini adalah prinsip yang relevan dalam dunia yang sering kali menuntut hasil instan.

Mengakhiri Wawancara dengan Impresi Positif

Ketika wawancara hampir selesai dan pewawancara bertanya, “Apakah Anda memiliki pertanyaan?”, jangan lewatkan kesempatan ini. Tanyakan tentang peluang pengembangan karier di perusahaan atau bagaimana budaya kerja mereka mendukung kreativitas.

Pitutur Jawa “Ajining diri gumantung ana ing lathi” mengingatkan kita bahwa kata-kata yang keluar dari mulut kita mencerminkan siapa kita. Akhiri wawancara dengan sopan dan penuh rasa syukur, seperti dengan mengatakan, “Terima kasih atas kesempatan ini. Saya sangat terinspirasi oleh visi perusahaan ini dan berharap dapat berkontribusi dalam menciptakan pengalaman luar biasa bagi tamu.”

Penutup

Wawancara kerja bukan hanya soal mendapatkan pekerjaan, tetapi juga tentang menunjukkan siapa Anda sebagai individu yang bernilai. Dengan memadukan nilai-nilai kerja modern dan kearifan lokal seperti pitutur Jawa, kita bisa menciptakan kesan yang mendalam. Industri hospitality menuntut kita untuk tidak hanya bekerja dengan kepala, tetapi juga dengan hati.

Seperti kata Winston Churchill, “Success is not final; failure is not fatal: It is the courage to continue that counts.” Jadikan setiap wawancara sebagai peluang untuk belajar, berkembang, dan menunjukkan bahwa Anda adalah pribadi yang siap menjadi bagian dari dunia hospitality yang penuh tantangan sekaligus peluang.

Jember 29 Desember 2024

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Marketing Branding

Share this:

n-JAWA-ni: Komunikasi Rekruter Ojo Dumeh

Proses rekrutmen dalam semua industri yang multi dimensi bukan hanya soal mencari kandidat terbaik, tetapi juga soal memahami potensi, kepribadian, dan perjalanan transformasi seseorang. Sebuah kutipan terkenal, “You can’t talk butterfly language with caterpillar people,” memberikan pelajaran mendalam bagi rekruter, manajer, dan pejabat yang melakukan wawancara calon karyawan. Kutipan ini mengingatkan bahwa untuk memahami kandidat secara utuh, kita harus menghargai latar belakang dan tahap perkembangan mereka, tanpa memaksakan ekspektasi yang terlalu tinggi di awal.

Filosofi Jawa, seperti “Aja dumeh” (jangan merasa lebih unggul), menekankan pentingnya kerendahan hati dalam berinteraksi. Dalam konteks rekrutmen, filosofi ini menjadi landasan penting bagi para rekruter untuk menghindari prasangka dan memastikan bahwa proses seleksi berfokus pada potensi, bukan hanya hasil instan. Esai ini mengupas bagaimana pendekatan yang humanis, berbasis kearifan lokal dan perspektif global, dapat meningkatkan kualitas komunikasi selama wawancara dan menghasilkan keputusan yang lebih baik.

Filosofi Jawa dalam Rekrutmen: Memahami Proses Transformasi

Dalam filosofi Jawa, “Sepi ing pamrih, rame ing gawe” (bekerja tanpa pamrih, sibuk dalam karya) mengajarkan bahwa proses lebih penting daripada sekadar hasil. Filosofi ini relevan dalam wawancara kerja, di mana seorang rekruter perlu fokus pada perjalanan hidup dan potensi kandidat, bukan sekadar pada pencapaian mereka di masa lalu.

Proses rekrutmen sering kali seperti mengamati seekor ulat yang kelak bisa berubah menjadi kupu-kupu. Kandidat mungkin belum menunjukkan kemampuan terbaik mereka, tetapi dengan bimbingan dan pelatihan, mereka memiliki peluang untuk berkembang menjadi aset yang luar biasa. Prinsip Jawa, “Witing tresna jalaran saka kulina” (pemahaman dan kepercayaan tumbuh karena kebiasaan), mengingatkan rekruter bahwa keunggulan seorang kandidat sering kali terlihat setelah mereka diberi kesempatan untuk beradaptasi dan berkembang.

Pitutur Jawa “Aja gawé gègètan, wong durung ngerti” (jangan memaksa orang yang belum siap) juga penting untuk dipegang. Tidak semua kandidat memiliki kemampuan komunikasi yang sempurna selama wawancara. Sebagai rekruter, kita perlu menggali lebih dalam untuk memahami apa yang mungkin belum tampak di permukaan.

Berbahasa Kelas Kupu-Kupu dengan Kandidat Level Ulat

Seorang rekruter yang efektif harus mampu menyesuaikan gaya komunikasinya selama wawancara. “Bahasa kupu-kupu” adalah cara bicara yang memberikan inspirasi, motivasi, dan peluang untuk berkembang, sementara “bahasa ulat” adalah pendekatan yang lebih sederhana dan langsung, disesuaikan dengan tahap perkembangan kandidat.

1. Menghindari Prasangka dan Fokus pada Potensi

Dalam wawancara kerja, penting untuk menghindari “aja dumeh” (jangan merasa lebih unggul). Rekruter yang merasa lebih hebat daripada kandidat cenderung membuat keputusan berdasarkan stereotip, bukan data yang objektif. Sebaliknya, seorang rekruter yang rendah hati akan mendengarkan cerita kandidat dengan empati dan mencari tanda-tanda potensi yang belum terlihat.

2. Mengadaptasi Gaya Komunikasi

Tidak semua kandidat datang dengan latar belakang atau kemampuan komunikasi yang sama. Dalam filosofi Jawa, “Tetep eling lan waspada” (tetap ingat dan waspada) mengajarkan pentingnya kesadaran dalam berinteraksi. Jika seorang kandidat tampak kurang percaya diri, rekruter harus menyesuaikan pendekatannya untuk membantu kandidat merasa nyaman dan menunjukkan kemampuan terbaik mereka.

3. Memahami Tahap Perkembangan Kandidat

Seorang rekruter harus memahami bahwa setiap kandidat berada dalam tahap perkembangan yang berbeda. Kandidat yang baru lulus mungkin memiliki semangat belajar yang tinggi, tetapi belum memiliki pengalaman praktis. Di sisi lain, kandidat dengan pengalaman panjang mungkin memerlukan pendekatan berbeda untuk mengeksplorasi fleksibilitas mereka dalam beradaptasi.

Pepatah Jawa “Jer basuki mawa beya” (kesuksesan membutuhkan usaha) relevan di sini, mengingatkan rekruter bahwa investasi dalam mengembangkan kandidat bisa membawa hasil besar di masa depan.

Solusi untuk Proses Rekrutmen yang Efektif

Berikut adalah langkah-langkah konkret yang dapat diambil oleh rekruter, manajer, dan pejabat dalam proses wawancara:

1. Membangun Hubungan yang Berbasis Empati

Empati adalah kunci untuk memahami kandidat secara mendalam. Rekruter perlu melihat lebih dari sekadar resume dan menggali cerita di balik pencapaian kandidat. Pitutur Jawa, “Andhap asor” (rendah hati), mendorong rekruter untuk mendekati kandidat dengan sikap menghormati dan menghargai perjalanan mereka.

2. Menyiapkan Lingkungan Wawancara yang Nyaman

Lingkungan yang nyaman dapat membantu kandidat merasa lebih percaya diri. Rekruter yang menggunakan bahasa tubuh positif, senyuman tulus, dan pertanyaan yang relevan dapat menciptakan suasana wawancara yang produktif. “Aja nggampangake wong” (jangan meremehkan orang) menjadi pedoman penting untuk menghormati setiap kandidat.

3. Mengintegrasikan Kearifan Lokal dengan Perspektif Global

Filosofi lokal seperti “Ojo kesusu” (jangan terburu-buru) mengingatkan rekruter untuk meluangkan waktu dalam memahami kandidat secara mendalam. Dengan menggabungkan pendekatan ini dengan praktik wawancara berbasis kompetensi global, rekruter dapat mengevaluasi kandidat dengan cara yang adil dan holistik.

4. Melihat Potensi Jangka Panjang

Seorang rekruter yang visioner tidak hanya mencari kandidat yang sesuai dengan kebutuhan saat ini, tetapi juga yang memiliki potensi untuk berkembang di masa depan. Pitutur “Urip iku urup” (hidup itu menyala dan memberi manfaat) mengajarkan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk menjadi lebih baik jika diberi kesempatan.

Peran Kepemimpinan dalam Rekrutmen

Sebagai rekruter atau manajer, wawancara kerja adalah momen untuk menunjukkan kepemimpinan yang efektif. Rekruter tidak hanya menilai kandidat, tetapi juga bertindak sebagai duta perusahaan yang memperkenalkan budaya kerja kepada calon karyawan. Pemimpin yang sukses akan memanfaatkan wawancara untuk menciptakan pengalaman yang inspiratif dan meninggalkan kesan positif.

Pelajaran dari praktisi senior di bidang Human Resources yang pernah menjadi atasan saya, seorang profesional hospitality yang sukses, memberikan panduan penting: “Your attitude during an interview reflects your leadership capability.” Beliau mengajarkan bahwa wawancara bukan hanya soal mencari kandidat yang tepat, tetapi juga soal membangun hubungan yang berlandaskan kepercayaan, empati, dan visi.

Membawa Filosofi ke dalam Rekrutmen

Proses rekrutmen bukan hanya soal menemukan talenta terbaik, tetapi juga soal memahami perjalanan transformasi individu. Kutipan kata-kata bijak “You can’t talk butterfly language with caterpillar people” dan pitutur Jawa seperti “Aja dumeh” memberikan panduan untuk menciptakan proses wawancara yang lebih humanis, efektif, dan inspiratif.

Sebagai rekruter, kita memiliki tanggung jawab untuk membantu kandidat melihat potensi terbaik mereka, sambil memastikan bahwa proses seleksi mencerminkan nilai-nilai perusahaan. Dengan memadukan kearifan lokal Jawa dan pendekatan perspektif global, kita dapat menciptakan proses rekrutmen yang tidak hanya produktif, tetapi juga transformatif, baik bagi kandidat maupun organisasi. Seperti pepatah Jawa, “Wani ngalah luhur wekasane” (berani mengalah untuk hasil yang mulia), mari kita terus membangun dunia kerja yang lebih baik, satu wawancara dalam satu waktu.

VJW

Share this:

Writer on progress: Buku Best Seller n-JAWA-ni

Sinopsis

Kumpulan Esai “n-JAWA-ni” Kearifan Lokal Jawa Go Global

oleh Jeffrey Wibisono V.

Kumpulan esai “n-JAWA-ni” adalah karya reflektif yang memadukan nilai-nilai luhur budaya Jawa dengan perspektif modern dalam konteks industri hospitality dan pariwisata. Melalui pendekatan filosofis, Jeffrey Wibisono V. menjabarkan prinsip-prinsip seperti “Kepergok Pager Suru,” “Urip Iku Urup,” “Narimo Ing Pandum,” “Natas, Nitis, Netes,” dan lainnya sebagai panduan untuk menghadapi tantangan, membangun kepemimpinan yang empatik, dan menciptakan layanan yang berkesan.

Esai ini menyentuh berbagai aspek kehidupan profesional dan personal, mulai dari menghadapi situasi tak terduga dengan keberanian, menerapkan ketulusan dalam pelayanan, hingga pentingnya membangun relasi yang autentik. Dengan menghubungkan kearifan lokal seperti “ngendikan kang becik” dengan motivasi global, karya ini menawarkan strategi praktis dan inspirasi untuk mencapai harmoni antara tradisi dan inovasi.

Ditulis dengan gaya yang menggugah, “n-JAWA-ni” tidak hanya relevan bagi para profesional di industri pariwisata, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin mengembangkan diri melalui pembelajaran dari tantangan hidup. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat setiap perjalanan—baik profesional maupun personal—sebagai peluang untuk tumbuh, berbagi manfaat, dan menciptakan jejak yang bermakna.

Share this:

n-JAWA-ni: Ganti Watang Alih Profesi

 Evolving Through Change in the Year of 2025 And Keep Counting

“The only constant in life is change.” – Heraclitus

Memasuki tahun 2025, kita tak lagi sekadar bertahan hidup, tetapi mulai merancang kehidupan yang lebih baik. Saya, sebagai salah satu pelaku yang telah melalui perjalanan panjang dalam dunia perhotelan, pariwisata, hingga pengembangan sumber daya manusia, saya memahami betul bahwa adaptasi adalah kunci. Filosofi Jawa Ganti Watang Career Switch, yang bermakna mengganti batang untuk kehidupan lebih baik, menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Fleksibilitas adalah kunci dalam menghadapi dunia yang terus berubah.

Namun, di era yang bergerak serba cepat ini, digital disruption, Ganti Watang tak hanya berarti mengganti profesi. Ini tentang rebranding diri, mengganti pola pikir, memperluas keterampilan, dan menetapkan tujuan baru. Kearifan lokal bertemu dengan realitas global dapat digunakan menciptakan landasan untuk sukses di masa depan.

Mau tahu bisa melalui dinamika apa saja?

Antara lain adalah tiga poin berikut: Identifikasi keahlian yang relevan dari diri sendiri. Pelajari keterampilan baru melalui kursus online. Bangun personal branding di platform digital.

Mengapa Ganti Watang Lebih Penting dari Sebelumnya?

Saya sebagai mentor dan praktisi dalam industri hospitality dan pengembangan karier, menyaksikan perubahan besar sejak pandemi 2020. Banyak orang-orang dekat di lingkungan saya dipaksa mengubah jalur hidupnya: dari karyawan menjadi pebisnis dan pengusaha, dari profesional menjadi kreator digital. Jika dulu ada stigma sebagai “kutu loncat” untuk mereka yang sering berpindah pekerjaan, sekarang fleksibilitas dianggap sebagai keunggulan kompetitif.

“Be stubborn about your goals, but flexible about your methods.” – Anonymous

Generasi Milenial, Gen Z, dan Alpha memahami bahwa dunia membutuhkan lebih dari sekadar keahlian spesifik. Dunia membutuhkan keberanian untuk pivot—mengganti watang—saat situasi berubah. Itulah yang saya tekankan dalam pembimbingan profesional, bahwa perubahan adalah peluang, bukan ancaman.

2020-2025: Dari Bertahan Hingga Berkembang

Di bulan-bulan awal pandemi, kita menyaksikan bagaimana pekerja di sektor pariwisata, termasuk di Bali, mulai beralih menjadi pengusaha mikro. Saya melihat banyak kolega yang sukses beradaptasi, memulai usaha kuliner, menjadi konsultan, atau bahkan membuka jasa digital berbasis kreativitas.

Namun, tidak semua perjalanan mulus. Banyak juga yang gagal karena kurangnya strategi jangka panjang. Itulah mengapa saya selalu mengingatkan dalam sesi mentoring:

“If opportunity doesn’t knock, build a door.” – Milton Berle

Di sini, Ganti Watang tidak lagi hanya soal bertahan hidup. Ini soal menemukan jalan untuk berkembang, bahkan menciptakan dampak bagi komunitas.

Personal Branding: Kunci di Era 2025

Saya dengan intensi membimbing generasi muda generasi penerus industri hospitality melalui Telu Learning & Consulting, sebisa mungkin saya menekankan pentingnya personal branding. Saat ini, identitas profesional dan personal kita harus saling melengkapi. Kita tidak hanya dikenal dari pekerjaan, tetapi juga dari nilai dan dampak yang kita bawa.

“Your brand is what people say about you when you’re not in the room.” – Jeff Bezos

Di era digital ini, kemampuan membangun citra diri melalui platform seperti media sosial, blog, atau situs resmi menjadi sangat penting. Itu sebabnya saya membangun namakubrandku.com, sebagai ruang berbagi inspirasi tentang self-rebranding dan pengembangan profesional di dunia yang terus berubah.

Ganti Watang: Filosofi Permanen untuk Masa Depan

Saya percaya, Ganti Watang adalah filosofi hidup yang terus relevan. Tidak hanya untuk bertahan, tetapi juga untuk berkembang. Sebagai penulis Hotelier Stories: Catatan Edan Penuh Teladan, saya sering membahas pentingnya visi yang jelas dalam setiap langkah perubahan.

“Success is not the key to happiness. Happiness is the key to success. If you love what you are doing, you will be successful.” – Albert Schweitzer

Tahun 2025 adalah waktu untuk berkembang, bukan hanya bertahan. Jadilah versi terbaik dari diri Anda. Mari kita jadikan perubahan sebagai bagian dari strategi sukses kita. Mulailah dari diri sendiri, tambahkan nilai baru pada profesi, dan jadilah pribadi yang menciptakan dampak.

Jember, 10 Desember 2024

Salam Inspirasi,

Jeffrey Wibisono V. – NamakuBrandku

Mentor | Praktisi Branding | Hospitality Professional

Share this: