Gastronomy: Rasa, Cerita, dan Identitas dalam Industri Pariwisata dan Perhotelan

Gastronomy bukan sekadar ilmu memasak. Ia adalah narasi rasa yang hidup dalam sejarah, sains, estetika, dan budaya manusia. Dalam industri perhotelan dan pariwisata, gastronomi bukan hanya soal apa yang dimakan—tetapi mengapa, bagaimana, dan bersama siapa. Itulah sebabnya, memahami gastronomi bukan hanya urusan chef, tapi tanggung jawab kolektif untuk menciptakan pengalaman yang menggugah lima indera dan membekas dalam batin.


I. Gastronomy: Filsafat Rasa yang Menyentuh Kehidupan

Secara etimologis, gastronomy berasal dari bahasa Yunani γαστρονομία (dibaca gastronomia), yang berarti hukum atau seni perut. Namun dalam esensinya yang paling dalam, gastronomy adalah ilmu tentang makanan dan minuman yang mencakup sejarahnya, sainsnya, cara pengolahannya, estetika penyajiannya, serta hubungannya dengan budaya dan peradaban manusia.

Lebih dari itu, gastronomy adalah the art of satisfying all senses. Ia bukan hanya tentang apa yang dimakan, tetapi tentang apa yang dirasakan—oleh lidah, mata, hidung, telinga, bahkan hati.

“Tell me what you eat, and I will tell you who you are.” – Jean Anthelme Brillat-Savarin


II. Pitutur Jawa: Mangan Ojo Sekadar Ngisi Weteng

Dalam falsafah Jawa, makanan dipandang sebagai sarana untuk mengikat rasa, memperkuat hubungan, dan menjaga harmoni. Pepatah “mangan ojo sekadar ngisi weteng, nanging ngisi ati lan pikiran” mengajarkan bahwa makan bukan hanya mengenyangkan, tapi menghidupkan rasa hormat, cinta, dan kebijaksanaan.

Inilah filosofi gastronomi yang sesungguhnya: makanan sebagai identitas, penghormatan, dan ekspresi budaya. Dalam dunia hospitality, filosofi ini menuntun kita untuk menghadirkan pengalaman makan yang bermakna—bukan sekadar filling stomachs, melainkan feeding souls.


III. Gastronomy dalam Dunia Pariwisata dan Perhotelan

1. Ilmu (Sains)

Gastronomi menuntut pemahaman ilmiah: dari temperatur ideal saat sous vide, proses fermentasi alami, hingga keseimbangan pH dalam rasa. Bahkan dalam dunia mixology dan pairing makanan-minuman, ada kalkulasi kimiawi dan sensorik yang mendalam.

Tips Praktis:

  • Latih tim dapur untuk peka pada sains rasa: suhu, tekstur, dan waktu pemasakan.
  • Gunakan teknologi dapur tanpa menghilangkan sentuhan manusia.

2. Seni (Estetika)

Makanan adalah seni visual. Plating, warna, tekstur, dan presentasi adalah elemen artistik yang menggugah indera penglihatan dan menimbulkan ekspektasi rasa.

Tips Praktis:

  • Gunakan prinsip “color harmony” dalam plating: kontras warna alami untuk daya tarik.
  • Sajikan dengan detail kecil yang menunjukkan cinta: garnish segar, piring hangat, atau percikan saus yang artistik.

3. Cerita (Sejarah dan Budaya)

Setiap makanan memiliki narasi. Nasi Liwet, misalnya, bukan sekadar nasi gurih, tapi kisah tentang kebersamaan di Solo. Makanan lokal adalah media ekspresi identitas dan kisah manusia.

Trik Hypnoselling:

  • Latih server dan staf F&B untuk bisa storytelling. Bukan hanya menjelaskan isi menu, tapi menghidupkan cerita di baliknya.
  • Berdayakan UMKM lokal sebagai bagian rantai cerita: dari petani garam, penenun serbet, hingga pembuat sambal rumahan.

IV. Gastronomi sebagai Hypnobranding

Dalam dunia yang penuh distraksi visual dan digital, gastronomy menjadi salah satu jalur branding yang paling kuat—karena menyentuh rasa dan memori.

Langkah Hypnobranding Gastronomi:

  1. Tentukan Signature Dish dengan Narasi Kuat
    Contoh: “Ikan Asap Bukit Raung—disajikan dengan sambal serai dan nasi jagung, terinspirasi dari dapur tradisional masyarakat Osing di lereng Gunung Raung.”
  2. Bangun Sensorial Experience di Restoran atau Hotel Anda
    Mulai dari musik latar yang etnik, aroma dari lilin rempah-rempah, hingga sambutan hangat dengan minuman herbal sebagai welcome drink.
  3. Gunakan Diksi Hypnowriting di Menu dan Promosi
    Jangan hanya tulis “sup jagung”—tulislah: “Sup jagung manis rebus alami berpadu dengan suwiran ayam kampung, disajikan hangat dengan taburan daun bawang segar dan jejak merica yang menghangatkan hati.”

V. Menghadirkan Gastronomi sebagai Pengalaman Wisata

Gastronomic tourism adalah tren global yang semakin berkembang. Tamu tak hanya datang untuk tidur, tapi untuk merasakan wilayah tempat mereka menginap.

Solusi Praktis untuk Hospitality:

  • Ciptakan paket wisata kuliner lokal yang disajikan di restoran hotel.
  • Luncurkan program Chef’s Table, di mana tamu bisa menyaksikan dan mencicipi secara langsung dari dapur.
  • Tawarkan kelas memasak tradisional sebagai bagian dari aktivitas hotel.

“People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel — especially through food.” – Maya Angelou (adapted)


VI. Pitutur dan Rasa: Jiwa yang Tersaji di Atas Piring

Masyarakat Jawa mengenal ungkapan “rasa iku dudu mung babangan ilat” — rasa bukan hanya tentang lidah. Ia menyentuh rasa batin, rasa hormat, rasa syukur.

Maka, gastronomy sejati adalah ketika pelayanan makanan tidak hanya melibatkan chef, tapi juga housekeeping, marketing, bahkan general manager. Semua bertanya: bagaimana kita bisa menyajikan rasa, bukan sekadar menu?


VII. Remedi untuk Industri yang Kehilangan Rasa

Dalam banyak kasus, hotel dan restoran mengalami dead taste—yaitu kondisi di mana makanan tidak mampu menciptakan pengalaman yang bermakna. Ini bisa disebabkan oleh:

  • Kurangnya keterlibatan emosional dalam menu.
  • Tidak adanya koneksi antara produk dan cerita.
  • Staff yang hanya menjalankan SOP tanpa hati.

Remedi Praktis:

  1. Audit Filosofi Menu:
    Pertanyakan kembali: apakah makanan yang disajikan punya cerita? Punya alasan untuk hadir di sana?
  2. Training Tim Lintas Divisi:
    Libatkan semua lini dalam pelatihan tentang gastronomi—dari security hingga general manager—agar setiap orang menjadi story ambassador dari sajian yang diberikan.
  3. Bangun Ekosistem Gastronomi Lokal:
    Jadikan restoran Anda sebagai showcase produk lokal, baik makanan, bumbu, kerajinan tangan, bahkan minuman tradisional.

VIII. Gastronomy dan Personal Branding Profesional Hospitality

Seorang profesional hospitality masa kini harus menjadikan gastronomi sebagai bagian dari personal branding. Bukan hanya tahu rasanya enak atau tidak, tapi tahu mengapa enak, darimana asalnya, dan bagaimana menyampaikannya.

Tips Membangun Personal Brand Gastronomi:

  • Bangun konten media sosial yang mengedukasi dan menginspirasi seputar gastronomi lokal.
  • Kolaborasi dengan chef dan storyteller untuk konten bersama.
  • Tampilkan behind the scene bagaimana rasa diciptakan, bukan hanya hasil akhirnya.

IX. Gastronomy sebagai Filsafat Hidup dan Leadership

Dalam konteks kepemimpinan di industri ini, seorang leader sejati memahami bahwa membangun bisnis yang berkelanjutan bukan hanya dengan strategi dan laporan keuangan. Tapi dengan membangun budaya—dan makanan adalah cara paling ampuh untuk membangun budaya perusahaan.

“Ora ilok mangan dhisik nek durung menehi wong liyo.”
(Tidak pantas makan dulu sebelum memberi orang lain.)

Falsafah ini relevan: pemimpin sejati bukan yang paling kenyang duluan, tapi yang memastikan semua orang merasakan kehangatan bersama.


X. Gastronomy sebagai Jalan Pengalaman, Identitas, dan Transformasi

Di zaman digital ini, kecepatan seringkali mengalahkan kepekaan. Tapi dalam dunia hospitality, hanya mereka yang menyajikan pengalaman dengan rasa, cerita, dan jiwa—yang akan bertahan dan berkesan.

Gastronomy adalah kunci untuk menciptakan loyalitas tamu, kebanggaan karyawan, dan diferensiasi brand. Ia adalah kombinasi antara knowledge, culture, aesthetics, dan experience—yang jika dikemas dengan narasi yang kuat dan diksi yang tepat, akan menjadi signature of hospitality.


Siapkah Anda menjadikan gastronomi sebagai kekuatan utama dalam pelayanan Anda?
Jika iya, maka Anda tidak hanya melayani tamu—Anda sedang menciptakan sejarah rasa yang akan dikenang selamanya.

“Gastronomy is not the science of cooking. It is the language of humanity told through taste, time, and tenderness.” – Jeffrey Wibisono V.

“Gastronomi bukan sekadar pengetahuan tentang memasak, melainkan bahasa nurani umat manusia—yang terucap lewat cita rasa, teruji oleh waktu, dan tersampaikan dengan ketulusan hati.” — Jeffrey Wibisono V.

Jember, 17 May 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

n-JAWA-ni: Tajam Tanpa Melukai Filosofi Kepemimpinan untuk Dunia Modern

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kompetisi yang melesat dalam industri pariwisata dan perhotelan, kita butuh lebih dari sekadar kecepatan dan kecerdasan. Kita butuh keluwesan dalam berpikir, ketajaman yang tidak menyakiti, dan keunggulan yang tidak menyombongkan. Filosofi Jawa Landep ora natoni, banter ora nglancangi, duwur ora ngungkuli, pinter ora kuminter bukan sekadar pepatah—melainkan strategi kepemimpinan sejati. Inilah bekal batin yang relevan untuk zaman kini: membentuk profesional yang tajam namun empatik, cepat namun santun, unggul namun rendah hati, pintar namun tidak menggurui.


1. Landep Ora Natoni — Tajam Tanpa Menyakiti

Makna:
Menjadi tajam bukan berarti harus melukai. Dalam kepemimpinan, seseorang harus tegas dan cerdas dalam mengambil keputusan, namun tetap menjaga rasa, empati, dan martabat orang lain.

Refleksi Industri:
Dalam dunia hospitality, landep diwujudkan dalam ketepatan pelayanan, kecepatan membaca situasi tamu, dan ketajaman menangkap tren. Namun, ketika ketajaman itu digunakan untuk menyudutkan staf, mengejar keuntungan dengan mengorbankan etika, atau menekan supplier secara semena-mena, di situlah filosofi ini dilanggar.

Tips & Trik:

  • Gunakan kata-kata yang membangun, bukan menjatuhkan—speak sharply with love, not with ego.
  • Dalam review kinerja staf, kritiklah sistem, bukan personanya.
  • Berlatihlah asertif, bukan agresif. Tajam dalam ide, lembut dalam komunikasi.

Motivasi:
Kepemimpinan yang tajam namun tidak melukai, akan selalu dikenang lebih lama dari mereka yang hanya lantang bersuara namun kosong makna.


2. Banter Ora Nglancangi — Cepat Tanpa Menyalip Secara Tidak Etis

Makna:
Kita boleh lincah dan cepat dalam mengambil peluang, tetapi tidak dengan menginjak orang lain atau menyalip secara serampangan.

Refleksi Industri:
Berapa banyak hotel yang “banter nglancangi” dengan meniru konsep pesaing tanpa inovasi bermakna? Atau staf yang ingin cepat promosi dengan menjilat atasan dan menjatuhkan rekan kerja? Inilah praktik yang harus ditinggalkan.

Tips & Trik:

  • Kembangkan inovasi dari hati, bukan hanya dari kompetitor.
  • Kecepatan seharusnya memperkuat reputasi, bukan merusaknya.
  • Jalani proses dengan sabar namun sigap—Fast is good, but fair is noble.

Remedi:
Jika Anda pernah tergelincir dalam praktik “nglancangi,” akui, benahi, dan mulailah dengan prinsip kolaborasi, bukan kompetisi membabi buta.

Motivasi:
Prestasi yang bertahan lama dibangun bukan oleh mereka yang cepat saja, tapi oleh mereka yang melangkah dengan integritas.


3. Duwur Ora Ngungkuli — Tinggi Tanpa Menyombongkan

Makna:
Tinggi ilmu, jabatan, atau status sosial tidak boleh menjadi alasan untuk merasa lebih dari yang lain. Kesuksesan sejati adalah yang tetap membumi.

Refleksi Industri:
Dalam dunia hotel, banyak General Manager yang secara jabatan berada “duwur,” namun melayani tamu dengan hati setara—ini yang disebut kelas sejati. Sebaliknya, banyak yang baru naik jabatan sedikit, namun mulai meninggalkan etika dasar hospitality: kerendahan hati.

Tips & Trik:

  • Jadilah role model yang melayani: True greatness kneels to serve.
  • Jangan malu membersihkan meja tamu jika diperlukan—tunjukkan bahwa kerendahan hati bukan kelemahan.
  • Ingatkan tim: “Saya tinggi bukan untuk memandang rendah, tapi untuk melihat lebih jauh dan membawa semua naik bersama saya.”

Solusi Praktis:

  • Latih semua supervisor dan manajer dengan etika kerendahan hati dalam hospitality.
  • Terapkan servant leadership sebagai filosofi manajemen.

Motivasi:
Semakin tinggi posisi, semakin besar kesempatan untuk merendah dan mengangkat orang lain.


4. Pinter Ora Kuminter — Pandai Tapi Tidak Sombong atau Sok Tahu

Makna:
Ilmu dan kepintaran tidak boleh membuat seseorang merasa paling benar, menolak masukan, atau merasa cukup tanpa belajar.

Refleksi Industri:
Era digital menuntut para profesional hospitality untuk terus belajar. Namun ada yang berhenti belajar karena merasa “sudah tahu semua.” Padahal tamu berubah, tren berubah, teknologi berubah—kuminter hanya akan membuat kita ketinggalan zaman.

Tips & Trik:

  • Jadwalkan sesi learning hour mingguan, untuk semua level staf.
  • Berikan reward kepada tim yang mau belajar, bukan hanya yang pintar teori.
  • Tumbuhkan budaya “belajar dari tamu”—karena tamu adalah guru terbaik kita.

Remedi:
Jika merasa “terlalu tahu,” coba duduk sebagai murid. Temukan kembali rasa ingin tahu yang tulus.

Motivasi:
Knowledge is not power until it’s shared humbly. Grow wise, not just smart.


5. Implementasi di Industri Pariwisata dan Perhotelan

Hypnobranding dalam Hospitality:

  • Jadikan filosofi ini sebagai DNA merek hotel. Buat training internal dan konten sosial media yang menanamkan nilai-nilai luhur ini ke publik.
  • Gunakan slogan-slogan hipnotik seperti:
    • “Tajam dalam layanan, lembut dalam rasa.”
    • “Cepat melayani, tanpa menyalip nurani.”
    • “Tinggi prestasi, rendah hati.”

Hypnowriting untuk Konten:

  • Website dan brosur hotel: Tampilkan narasi yang membumi, mengedukasi, dan menyentuh emosi.
    • Contoh: “Kami bukan sekadar tempat menginap. Kami rumah sementara, dengan pelayanan yang memuliakan setiap pribadi.”

Hypnoselling untuk Sales Team:

  • Ajarkan mereka menjual tanpa memaksa. Bangun relasi, bukan hanya transaksi.
  • Gunakan pendekatan consultative selling dengan sikap landep ora natoni—memahami kebutuhan klien, bukan mengejar angka semata.

6. Jalan Terang Profesional Hospitality

Filosofi Landep ora natoni, banter ora nglancangi, duwur ora ngungkuli, pinter ora kuminter bukan sekadar pitutur klasik—melainkan code of honor bagi setiap insan hospitality yang ingin tumbuh secara berkelanjutan.

Sebagai profesional perhotelan, mari kita tidak sekadar menjadi ahli melayani, tetapi juga menjadi manusia yang layak diteladani. Kita boleh maju, cepat, tinggi, dan pintar—asal tidak meninggalkan rasa, etika, dan jiwa. Inilah integritas dalam estetika, kesantunan dalam prestasi, dan kebijaksanaan dalam inovasi.

Ingat:
Kecerdasan tanpa hati akan membuatmu cepat, tapi sendirian.
Kecepatan tanpa etika akan membuatmu menang, tapi tidak mulia.
Ketinggian tanpa kerendahan hati akan membuatmu terlihat, tapi terasing.
Kepintaran tanpa kebijaksanaan akan membuatmu bersinar, tapi membakar diri sendiri.

Jember, 16 Mei 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

Pribadi Unggul Bukan Karena Tempat Tapi Karena Niat

Benih yang Baik Tak Memilih Tanah: Filosofi Kepemimpinan dan Dedikasi dalam Pariwisata dan Perhotelan

“A good seed never complains about the soil. It simply grows and bears fruit.”

Ada pepatah Jawa yang mengatakan, “Wit becik bakal ngundhuh wohing pakarti.” Namun kali ini, mari kita gali makna dari filosofi universal yang kian relevan dalam industri modern: Benih yang baik tak memilih tanah.

Ungkapan ini bukan retorika tanpa makna, melainkan prinsip hidup yang sarat hikmah. Bahwa kualitas sejati tidak tunduk pada situasi. Bahwa nilai luhur akan selalu menemukan jalannya untuk tumbuh—meski di tanah keras, di ruang sempit, atau dalam tantangan yang tidak ideal.

Bagi insan pariwisata dan perhotelan, ini bukan sekadar petuah; ini adalah arah kompas. Sebab mereka yang bekerja melayani, memimpin tim, atau membangun destinasi, hakikatnya adalah para penanam benih. Benih pelayanan. Benih kepercayaan. Benih reputasi.


1. Filosofi yang Menyuburkan Kepemimpinan

“Benih yang baik” mengacu pada karakter, komitmen, dan etika kerja yang luhur. Sementara “tanah” adalah lingkungan kerja, pasar yang berubah, atau bahkan situasi sosial-ekonomi yang sulit diprediksi. Dalam ekosistem pariwisata yang rentan oleh fluktuasi musim dan sentimen global, hanya mereka yang membawa benih unggul yang akan bertahan dan tetap berbuah kebaikan.

Filosofi ini bukan sekadar bentuk optimisme, melainkan keilmuan tindakan. Ia adalah bukti bahwa kualitas diri tidak menunggu kondisi sempurna. Ia tumbuh, bekerja, dan membuktikan diri justru ketika diuji.

“Excellence is not an act, but a habit.” – Aristotle


2. Kepemimpinan Tanpa Alibi: Tumbuh Dimanapun Diperlukan

Dalam praktik lapangan, pemimpin sejati tidak mencari-cari alasan. Ia tidak menyalahkan keadaan, atasan, atau lokasi hotel yang tidak strategis. Ia menanam solusi, bukan menebar keluhan.

Dalam industri perhotelan, kita mengenal istilah reliever. Seorang pemimpin yang ditugaskan di properti yang penuh tantangan. Namun mereka yang membawa benih yang baik, akan mengubah keterbatasan menjadi peluang, dan membentuk tim menjadi komunitas yang solid.

“Grow where you are planted.”

Mereka tidak mempersoalkan tanahnya, karena mereka percaya: Nilai unggul akan tetap mekar—asal terus disiram dengan ketekunan dan dijaga dengan akhlak.


3. Ciri-Ciri Benih Unggul di Industri Pariwisata dan Perhotelan

a. Integritas Tanpa Kompromi

Seorang frontliner yang jujur lebih bernilai daripada promosi kosong yang menyesatkan. Pemimpin yang transparan menciptakan budaya kerja yang sehat dan membangun loyalitas jangka panjang.

b. Ketekunan yang Konsisten

Ketekunan bukan berarti bekerja lebih keras, tapi bekerja dengan penuh arti. Fokus pada detail, menyelesaikan apa yang dimulai, dan disiplin dalam proses.

c. Adaptif Tanpa Hilang Jati Diri

Tanah bisa berubah. Pasar bisa bergeser. Teknologi bisa mengejutkan. Tapi benih unggul beradaptasi tanpa kehilangan esensi pelayanan: menyentuh hati.

d. Empati dalam Kepemimpinan

Hotel bukan hanya tempat tidur, melainkan tempat beristirahatnya harapan para tamu. Pemimpin yang memiliki empati akan lebih peka terhadap kebutuhan tamu, tim, dan reputasi brand.


4. Tips & Trik: Menyuburkan Benih Anda di Industri

Remedi untuk Karier yang Stagnan

Jika Anda merasa tidak berkembang, bukan tanahnya yang harus disalahkan. Periksa benih Anda:

  • Apakah Anda masih belajar?
  • Masih peduli pada kualitas kerja?
  • Masih menjaga etika profesional?

Perbaikilah benihnya terlebih dahulu sebelum merombak lahannya.

Inspirasi untuk Menyemai Diri di Tempat Baru

Anda pindah ke properti yang kurang dikenal? Justru di sanalah kesempatan untuk membuat nama Anda dikenang. Tidak semua orang bisa membuat hotel bintang lima terlihat mewah. Tapi mereka yang hebat, mampu menjadikan properti sederhana menjadi tempat pulang yang dirindukan tamu.

“Don’t wait for the perfect moment. Take the moment and make it perfect.”

Solusi Praktis untuk Menumbuhkan Tim

  • Berikan pelatihan yang bukan hanya teknikal, tapi juga menyentuh hati.
  • Buat rutinitas briefing yang inspiratif, bukan sekadar instruktif.
  • Biarkan setiap anggota tim merasa punya peran dan kontribusi.

5. Hypnobranding: Menjadi Merek yang Tumbuh dari Dalam

Benih yang baik, bila tumbuh konsisten, akan membentuk brand yang kuat—karena identitas itu lahir dari sikap, bukan sekadar iklan.

Brand yang tumbuh dari benih integritas:

  • Tidak perlu gimmick berlebihan.
  • Tamu merasakan sendiri pengalaman yang mengena.
  • Karyawan bangga menjadi bagian darinya.

Ingat:

“Your brand is what people say about you when you’re not in the room.” – Jeff Bezos

Dalam konteks perhotelan, brand bukan sekadar logo atau fasilitas, tapi bagaimana Anda memperlakukan orang: tamu, staf, mitra, dan komunitas.


6. Hypnoselling: Menawarkan Bukan Sekadar Menjual

Benih yang baik tidak memaksa untuk dibeli. Ia menarik karena kualitasnya. Demikian pula dalam menjual kamar, paket wisata, atau layanan.

Prinsip hypnoselling dalam pariwisata dan perhotelan:

  • Bangun rasa percaya, bukan tekanan.
  • Jual solusi, bukan harga.
  • Jual cerita, bukan katalog.

7. Untuk Anda Para Trainer, Mentor, dan Leader

Filosofi ini sangat aplikatif untuk pelatihan SDM pariwisata:

Modul yang bisa dikembangkan:

  • Grow Anywhere Mindset (pengembangan karakter di tengah keterbatasan)
  • Hospitality Starts from Within (kepemimpinan pelayanan berbasis empati)
  • Kepemimpinan Tanpa Pilih Tanah (penguatan mindset adaptif dalam rotasi kerja)

Pelatihan ini bukan tentang cara membuat hotel jadi lebih mahal, tapi membuat pengalaman tamu jadi lebih bermakna.


8. Tumbuh, Bukan Sekadar Hidup

Jika Anda hari ini sedang ditempatkan di tanah yang belum tentu subur, jangan buru-buru pindah ladang. Kadang Tuhan justru ingin kita tumbuh di sana, supaya kita tahu: yang menjadikan hidup ini layak adalah nilai yang kita rawat, bukan tempat kita berdiri.

“You are not a product of your circumstances, but of your decisions.” – Stephen Covey

Benih yang baik tak memilih tanah, karena ia percaya—di mana pun ia ditanam, akan selalu ada cahaya untuk bertumbuh.

Jember, 16 Mei 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

n-JAWA-ni Angeli Ananging Ora Keli Keteladanan Profesional dalam Dunia Kerja

Dalam dunia yang terus bergerak cepat dan dinamis, ada satu filosofi Jawa yang tak lekang oleh zaman, diam-diam menjadi pelita bagi mereka yang ingin tetap bersinar tanpa kehilangan jati diri: Angeli ananging ora keli—terlibat, tetapi tidak hanyut; menyatu, tapi tak larut; hadir, namun tetap utuh. Inilah pesan luhur yang layak dihidupkan kembali oleh setiap insan pariwisata dan perhotelan yang ingin sukses dengan martabat.


1. Makna Halus yang Menguatkan Hati

Angeli ananging ora keli bukan sekadar permainan kata, melainkan panggilan batin untuk menjadi profesional yang cerdas secara sosial, tangguh secara emosional, dan luhur secara spiritual. Ini adalah ajaran tentang bagaimana kita bisa hadir secara penuh di tengah sistem, tetap menjadi bagian dari dinamika industri—namun tidak kehilangan arah hidup maupun nilai-nilai dasar kemanusiaan.

“Be a part of the world, but never let the world take over your soul.” — Adaptasi nilai spiritual universal

Dalam industri perhotelan dan pariwisata, di mana keramahan adalah mata uang utama, filosofi ini menjadi fondasi untuk melayani dengan ketulusan, bukan keterpaksaan; dengan kecerdasan, bukan kepalsuan.


2. Dunia Hospitality: Cermin Kehidupan yang Kompleks

Berinteraksi dengan ratusan tamu, rekan kerja, dan stakeholder setiap hari, membuat insan hospitality akrab dengan dinamika emosional dan sosial. Namun, tantangan terbesarnya bukan hanya target kinerja atau kepuasan pelanggan, melainkan bagaimana menjaga keseimbangan batin di tengah segala kemungkinan yang bisa menguji nilai-nilai pribadi.

Pepatah Jawa ini mengajak kita untuk tetap berakar dalam kejujuran, kesabaran, dan ketekunan meski berada dalam pusaran perubahan zaman.

“Sepi ing pamrih, rame ing gawe.” — Bekerja sepenuh hati tanpa niat tersembunyi.


3. Tiga Pilar Kepribadian “Ora Keli” dalam Dunia Kerja

a. Integritas Tanpa Eksploitasi

Mengikuti arus bukan berarti menyalahi hati nurani. Profesional sejati mampu menyesuaikan diri dengan budaya organisasi tanpa ikut-ikutan menyimpang dari nilai dasar kebaikan.

b. Fleksibel Tanpa Kehilangan Identitas

Berbaur bukan berarti melebur. Pribadi yang matang tahu bagaimana menyampaikan pendapat dengan santun, tanpa mendominasi, apalagi menjatuhkan.

c. Loyal Tanpa Fanatisme Buta

Kesetiaan pada tim atau perusahaan bukan berarti menutup mata pada kebenaran. Justru di sinilah peran kita untuk menjadi suara yang menyejukkan dan menyadarkan.


4. Tips Praktis: Membangun Karakter “Ora Keli” dalam Dunia Hospitality

Untuk Frontliners:

  • Latih respon batin sebelum merespons ucapan atau perilaku tamu.
  • Jadikan setiap komplain sebagai peluang menampilkan kualitas karakter, bukan sekadar layanan.
  • Rawat kepercayaan diri bukan dari pujian, tapi dari keyakinan bahwa Anda memberi dampak positif.

Untuk Supervisor & Manager:

  • Adakan sesi circle sharing untuk membangun kesadaran kolektif tentang nilai profesionalisme sejati.
  • Dorong budaya kerja eling lan waspada dalam briefing harian: sadar akan tugas dan sadar akan batin.
  • Jadikan teladan sebagai bentuk komunikasi tertinggi—lebih berbicara lewat tindakan daripada nasihat.

Untuk Owner & Leader Tertinggi:

  • Rancang SOP dan reward system yang juga mengapresiasi sikap, bukan hanya angka.
  • Jadikan pelatihan berbasis nilai sebagai bagian dari sistem manajemen mutu.
  • Hadir bukan untuk diawasi, tetapi untuk menjadi bagian dari denyut organisasi.

5. Remedi Halus Saat Kita Terlanjur Hanyut

Setiap manusia bisa khilaf, dan di dunia kerja yang menuntut, tak sedikit yang terjebak dalam pola pikir “ikut saja asal aman.” Namun, tidak ada kata terlambat untuk kembali ke jalur kebenaran.

Remedinya:

  • Tirakati: Beri ruang hening dalam rutinitas, sekadar merefleksi niat, tindakan, dan perasaan hari itu.
  • Titeni: Amati perubahan kecil dalam dirimu dan sekitarmu—apakah membawa ketenangan atau justru kegelisahan?
  • Enteni: Tidak semua perubahan harus instan. Kebiasaan baik akan tumbuh pelan tapi pasti.
  • Pateni: Matikan ego yang menuntut pengakuan terus-menerus. Keikhlasan justru membuat kita dikenang lebih lama.

6. Studi Kasus Kebaikan yang Tak Tersorot

Di sebuah resort kecil di lereng gunung , seorang staf housekeeping bernama Mbak Rini selalu bekerja dengan penuh perhatian. Tanpa disuruh, ia menaruh catatan kecil berisi pesan penyemangat di atas meja tamu. Tidak pernah viral. Tidak pernah masuk laporan mingguan. Tapi tamu-tamu mengingatnya. Mereka kembali, bukan karena promosi, tapi karena “hati” yang menyambut mereka.

Mbak Rini adalah contoh nyata angeli ananging ora keli—ia ikut dalam sistem, tetapi memilih untuk tetap menjadi sumber cahaya, bukan sekadar roda dalam mesin.


7. Hypnobranding & Hypnowriting: Menulis dan Membangun Citra dengan Keteladanan

Hypnobranding:

  • Bangun brand bukan dari citra yang ditampilkan, tetapi dari nilai yang dijalani.
  • Biarkan reputasi tumbuh bukan karena iklan, tapi karena nilai konsistensi.

Hypnowriting:

  • Gunakan kata-kata yang mengalir lembut, menyentuh akal sekaligus menyentuh hati.
  • Tulis narasi pelayanan dengan sentuhan spiritual: bukan hanya apa yang dilakukan, tapi mengapa dilakukan.

8. Filosofi yang Layak Dijadikan Panduan Kehidupan Profesional

Dalam dunia pariwisata dan perhotelan, keindahan tak hanya hadir dari arsitektur bangunan atau kemewahan fasilitas, tapi juga dari batin para pelayan tamu yang berusaha menjadi cahaya—di balik meja resepsionis, di dalam dapur, hingga di balik layar laporan operasional.

Angeli ananging ora keli bukan teori, tapi cara hidup. Ia adalah benang merah antara kompetensi, karakter, dan kemanusiaan.


9. Filosofi yang Menghargai Martabat Manusia

“Greatness is not in where we stand, but in what direction we are moving.” — Oliver Wendell Holmes

Bergeraklah dalam dunia kerja tanpa kehilangan arah. Jadilah orang yang mampu menyesuaikan diri, namun tetap jujur pada nilai-nilai luhur. Karena pada akhirnya, yang membuat kita dikenang bukan posisi, bukan gelar, melainkan laku urip—jalan hidup yang membawa manfaat dan keteladanan.


Ajaklah dunia untuk melihat, bahwa profesionalisme bukanlah topeng. Ia adalah wajah asli dari mereka yang tetap menjaga nurani, walau berada di tengah keramaian dunia.

Jember, 15 Mei 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Perhotelan dan Konsultan

Share this:

F&B Bukan Urusan Orang Lain—Itu Tanggung Jawab GM!

Refleksi Filosofis, Strategi Kepemimpinan, dan Transformasi Manajerial untuk General Manager Hotel


Menjadi General Manager bukan sekadar memimpin rapat dan membaca laporan—tetapi menyatu dengan denyut hidup hotel. Ketika meja makan sepi, jangan hanya menyalahkan tim F&B. Mungkin leadership-lah yang absen. Karena dalam dunia hospitality, tidak ada ‘departemen lain’. Semuanya adalah milikmu. Dan F&B, adalah jantung reputasi yang berdetak paling nyata.


Di Balik Jabatan, Ada Amanah Tanpa Sekat

Dalam hierarki organisasi perhotelan, Food & Beverage (F&B) sering kali dipandang sebagai ranah teknis yang cukup ditangani oleh Executive Chef atau Food & Beverage Manager. Namun realitas di lapangan membuktikan sebaliknya: ketika sektor F&B lemah, seluruh wajah hotel ikut tercoreng—dan tamu tidak pernah menulis review hanya untuk satu divisi. Mereka menilai keseluruhan pengalaman.

Maka, dalam konteks kepemimpinan hospitality modern, General Manager (GM) bukan lagi pengawas dari kejauhan, melainkan pemikul tanggung jawab lintas departemen dengan kepekaan mendalam. Inilah esensi dari filosofi kepemimpinan total.

Seperti pitutur luhur Jawa:

“Sing dadi pemimpin iku kudu saguh mikul, dudu mung mikir.”
(Seorang pemimpin sejati itu sanggup menanggung, bukan sekadar memikirkan.)


F&B: Pilar Hospitality yang Sering Diremehkan

Sering kali GM terlalu fokus pada occupancy rate, ADR, atau GOP, hingga melupakan bahwa restoran, room service, banquet, hingga minibar adalah experience builder yang jauh lebih berkesan daripada angka-angka kering di spreadsheet.

Tamu tidak mengingat tarif kamar, tapi mereka akan selalu mengingat rasa kopi pagi hari, senyum waiter, dan aroma croissant hangat.

Ironisnya, banyak GM yang menyerahkan urusan F&B seperti menyerahkan “piring panas”—tidak mau menyentuhnya. Padahal, ketika F&B gagal, yang terbakar bukan hanya dapur, tapi juga citra hotel secara keseluruhan.


Mengapa F&B Harus Menjadi Perhatian Utama GM?

  1. Reputasi hotel terbentuk dari mulut ke mulut yang dimulai dari meja makan.
  2. Revenue tambahan dari F&B dapat menopang saat kamar low season.
  3. Event MICE, banquet, dan special dining adalah magnet loyalitas.
  4. Produk F&B adalah satu-satunya aspek yang bisa dijual ke publik tanpa perlu booking kamar.

Bila GM tidak memahami ini, maka ia tidak sedang memimpin hotel, tetapi hanya mengelola gedung penginapan.


Pitutur Jawa dan Perspektif Global: Titik Temu Dua Dunia

“Sopo sing nandur, bakal ngunduh.”
(Siapa yang menanam, dia pula yang menuai.)

Ketika GM menanam perhatian di sektor F&B—bukan sekadar instruksi dan KPI—maka yang akan dituai adalah:

  • loyalitas staf dapur dan service,
  • peningkatan kualitas produk dan layanan,
  • serta pertumbuhan revenue yang organik dan konsisten.

Dalam perspektif global:

“Leadership is not about being in charge. It’s about taking care of those in your charge.”
— Simon Sinek


Strategi Praktis & Tips Hypnoselling untuk GM

1. Masuk ke Dapur, Tapi Jangan Menjadi Chef

Bukan untuk mencampuri teknis, tetapi untuk menyerap suasana kerja dan membangun trust. Hadir dengan hati, bukan hanya mata.

2. Ikuti Food Tasting Seperti Seorang Tamu

Libatkan diri dalam uji menu. Rasakan kualitas dari perspektif konsumen. Jika Anda bangga, tamu akan lebih bangga.

3. Temui Waiter dan Steward Seperti Anda Temui Manajer

Mereka tahu cerita paling jujur tentang pelanggan. Dengar, catat, apresiasi.

4. Konsolidasi Lintas Departemen: Menu, Branding, dan Sales

Buat pertemuan bulanan untuk mengevaluasi dan menciptakan menu signature yang menjual—bukan hanya enak, tapi juga menguntungkan.

5. Optimalkan Hypnoselling & Storyselling

Ajarkan tim F&B menjual dengan narasi:

“Paket nasi liwet ini dimasak dengan resep keluarga dari Chef kami yang berasal dari Solo, ditambah sambal kluwak rahasia yang hanya tersedia selama bulan ini…”


Remedi Jika F&B Bermasalah: Langkah yang Harus Dilakukan GM

  • Audit Pengalaman Tamu Secara Personal: Duduklah sebagai tamu biasa. Rasakan ritme pelayanan dari awal hingga akhir.
  • Bentangkan Roadmap Perbaikan 90 Hari: Fokus pada food cost, kualitas bahan, waktu penyajian, dan guest satisfaction score.
  • Perkuat Training Soft Skill F&B Staff: Hospitality is not service—it’s emotional connection.
  • Luncurkan Brand Identity Outlet: Jangan hanya menyebut “Restoran Hotel ABC.” Beri nama, karakter, dan strategi Instagrammable.

Studi Kasus Nyata: GM yang Mengubah F&B dari Rugi Menjadi Ikon Hotel

Seorang GM di hotel bintang 4 di Bali menghadapi F&B yang mengalami kerugian 15%. Ia tidak memarahi staf. Ia mulai ikut briefing pagi dapur, menyarankan modifikasi menu yang ramah tamu lokal, dan meluncurkan “Kampoong Brunch Sunday.”

Dalam 6 bulan, bukan hanya profit naik 22%, tapi restoran hotel itu masuk dalam daftar rekomendasi kuliner oleh travel blogger nasional.

Apa yang ia lakukan?

Ia hadir, ia mendengarkan, ia ikut berjuang—tanpa harus memasak.


GM Bukan Pengamat, Tapi Penyatu Denyut Hotel

F&B bukan milik orang lain. Itu adalah tanggung jawab GM yang sejati. Jika Anda ingin dikenang bukan sebagai manajer biasa, tetapi sebagai pemimpin yang menginspirasi, maka mulailah dari piring pertama yang tersaji pagi ini.


Seperti Apa GM yang Ideal dalam Dunia F&B?

  • Ia tidak takut masuk ke dapur.
  • Ia mengenal nama waiter dan steward-nya.
  • Ia ikut merasakan antusiasme dalam setiap peluncuran menu.
  • Ia menjadikan F&B bukan sekadar departemen, tetapi signature of excellence.

“Do not just serve the table. Serve the soul sitting at it.”
— Hypnobranding for Hospitality

Jember, 15 Mei 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

Tirakati, Titeni, Enteni, Pateni: Metode Menuju Sukses Berkarakter

Bukan jabatan, bukan gaji tinggi, dan bukan popularitas yang menjadikan seseorang mulia di industri pariwisata dan perhotelan. Tetapi laku hidup yang dijalani dengan kesungguhan. Tirakati, Titeni, Enteni, Pateni bukanlah jargon spiritual, melainkan peta jalan profesionalisme—yang ketika dipraktikkan, menghasilkan integritas yang tidak perlu dibuktikan dengan kata-kata. Inilah seni hidup dan bekerja yang tidak terbantahkan oleh zaman.


1. Tirakati: Menyucikan Niat, Menempa Diri dalam Keheningan

Tirakati bukan sekadar tradisi, tetapi metode mendalam untuk menata ulang motivasi batin. Dalam industri hospitality yang menuntut kecepatan, impresi, dan keramahan konstan, tirakat menjadi pagar batin agar setiap senyum tidak hampa, setiap tindakan mengandung makna.

Ia adalah disiplin spiritual dan profesional yang melatih kita untuk melayani bukan karena diminta, tapi karena merasa terpanggil. Dalam kebisuan tirakati, seorang staf belajar membedakan antara sibuk dan bermanfaat, antara bekerja dan mengabdi.

Hypnowriting Insight:
“Ketika kita tirakati, kita tidak lagi bekerja demi angka, tapi demi rasa yang menyejukkan setiap tamu yang datang.”

Solusi Praktis:

  • Jadwalkan waktu ‘hening profesional’ 3 menit setiap sebelum shift.
  • Tuliskan dalam jurnal: “Apa niatku hari ini di tempat kerja?”
  • Latih diri untuk menunda reaksi saat emosi naik. Tirakati bukan menjauh, tapi mengelola gelombang dari dalam.

2. Titeni: Mengasah Ketajaman, Mengamati dengan Kedalaman

Titeni adalah laku memperhatikan dengan saksama. Di dunia perhotelan, titen bukan hanya membaca laporan, tapi membaca bahasa tubuh tamu. Bukan hanya mendengar komplain, tapi menangkap kebutuhan yang tidak diucapkan. Mereka yang titeni, selalu selangkah lebih siap dibanding yang hanya bereaksi.

Menjadi teliti adalah bentuk cinta. Dan cinta profesional hanya bisa hadir dari mereka yang tekun mengamati, bukan tergesa menyimpulkan.

English Quote:
“Excellence is not a skill, it’s an attitude.” — Ralph Marston

Hypnoselling Insight:
Dalam sales, titeni berarti memahami preferensi klien bahkan sebelum ia mengucapkannya. Dalam branding, titeni membuat kita tidak asal menjual, tetapi membangun hubungan.

Solusi Praktis:

  • Buat habit “jurnal pola”: catat kebiasaan tamu dan tren harian selama 21 hari.
  • Tinjau CCTV atau hasil observasi bukan untuk mencari salah, tapi untuk membaca alur pelayanan.
  • Latih insting dengan evaluasi mingguan: kejadian apa yang bisa dicegah jika kita lebih titen?

3. Enteni: Kesabaran Adalah Jalan Pintas Tercepat

Salah satu kesalahan terbesar insan hospitality adalah tergesa menilai hasil. Enteni adalah laku sabar yang aktif, bukan pasrah yang pasif. Menunggu bukan berarti diam, tetapi bekerja dalam diam untuk mematangkan buah yang sedang tumbuh.

Dalam konteks manajerial, enteni adalah bentuk strategi jangka panjang. Seorang pemimpin yang bijak tahu kapan berbicara, kapan mendiamkan proses agar tim tumbuh dari dalam.

Pitutur Luhur Jawa:
“Sabar iku mujarab, ora mung nahan, nanging ngolah rasa nganti luwih waskita.”

Hypnobranding Insight:
Brand yang kuat tidak dibentuk oleh promo sesaat, tetapi oleh konsistensi yang enteni. Publik perlu waktu untuk percaya, dan kita perlu ruang untuk terus memperbaiki.

Solusi Praktis:

  • Gunakan prinsip “3-bulan pantau” sebelum mengganti strategi pelayanan.
  • Terapkan delayed decision making dalam konflik kerja: beri jeda sebelum memberi keputusan reaktif.
  • Ajarkan staf baru bahwa belajar tidak harus cepat, yang penting tuntas.

4. Pateni: Mematikan Ego, Menghidupkan Rasa

Tahapan terakhir ini justru adalah awal dari kematangan sejati. Pateni bukan kematian fisik, tetapi kematian ego yang selama ini membatasi kemampuan kita dalam berempati, mendengar, dan melayani.

Seorang manajer yang bisa pateni egonya, tidak akan merasa kalah ketika ide bawahannya lebih baik. Seorang tamu yang keras tidak perlu dilawan, cukup dijinakkan dengan sikap tanpa dendam.

Quote Global:
“The ego is the only requirement to destroy any relationship. Be a bigger person. Skip the ‘E’ and let it ‘go’.”

Hypnowriting Insight:
Pateni bukan berarti menghilang. Ia justru memperlihatkan kehadiran diri yang tidak butuh sorotan, karena kualitasnya cukup menjadi cahaya.

Solusi Praktis:

  • Ubah briefing dari “aku” menjadi “kita.”
  • Rayakan kemenangan tim tanpa menyebut siapa yang paling berjasa.
  • Evaluasi mingguan: sikap mana minggu ini yang berasal dari ego, dan bagaimana cara melepaskannya?

Filosofi yang Tidak Perlu Diperdebatkan, Cukup Dijalani

Empat tahapan ini—Tirakati, Titeni, Enteni, Pateni—adalah framework luhur yang tidak hanya berlaku bagi pelaku industri pariwisata dan perhotelan, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin menjalani profesi dengan martabat. Nilai-nilai ini tak lekang oleh zaman, tak runtuh oleh kritik, dan tak memerlukan pembelaan.

Sebab, ketika dijalani sepenuh hati, hasilnya akan menjawab sendiri:

  • Reputasi menguat tanpa harus dipromosikan.
  • Tim menjadi solid tanpa harus diperintah.
  • Tamu menjadi loyal tanpa perlu diminta.

Mereka yang menapaki laku ini tidak bersuara keras. Tapi keberadaannya menggema jauh, menyentuh, dan dikenang.


Penutup & Ajakan:

Apakah Anda ingin membangun karier bukan hanya yang sukses, tetapi juga meninggalkan warisan nilai?

Mulailah dengan empat laku ini. Bukan karena mereka mudah, tapi karena mereka pasti memberi hasil yang bermakna.

Dan saat Anda memimpin dengan tirakati, membaca dengan titeni, menunggu dengan enteni, dan memimpin tanpa ego lewat pateni—Anda tak hanya menjadi profesional hebat. Anda menjadi cahaya dalam dunia hospitality yang membutuhkan lebih banyak kehadiran sejati.

Jember, 15 Mei 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

Senyap yang Bermartabat di Balik Hening yang Penuh Kendali

Diam bukan tanda lemah. Diam adalah seni tertinggi profesional yang tidak perlu mengaku hebat.

“Silence isn’t empty. It’s full of answers.”

Dalam dunia kerja yang penuh kompetisi dan opini bersilang, diam sering disalahartikan sebagai kelemahan. Padahal, justru di balik diam ada kuasa yang tak bisa ditandingi oleh seribu kata. Ia bukan bentuk menyerah, tapi seni bertahan. Ia bukan ketakutan, melainkan strategi. Diam adalah bentuk tertinggi dari kedewasaan profesional yang tidak butuh validasi, tidak mengejar tepuk tangan, tapi tetap bekerja dengan arah, kendali, dan martabat.


1. Filosofi “Tapa Lelono”: Diam Sebagai Laku, Bukan Sekadar Sikap

Dalam pitutur Jawa, dikenal laku tapa lelono—diam dalam perjalanan batin untuk mencapai terang. Profesional sejati adalah mereka yang tidak banyak bicara, namun langkahnya pasti, arah kerjanya bersih, dan dampaknya terasa. Mereka tidak tergoda menunjukkan segalanya kepada dunia. Karena mereka tahu, sing sepi ora sepi, sing rame ora rame—yang tampak sunyi belum tentu kosong, dan yang ramai belum tentu bermakna.

“A lion doesn’t need to roar to prove it’s the king of the jungle.”


2. Mengapa Diam Adalah Pilar Mental Tangguh?

a. Membentengi Profesionalisme dari Reaksi Emosional
Sikap diam bukan bentuk lepas tanggung jawab, tapi perisai terhadap reaksi spontan yang bisa merusak hubungan atau reputasi.

b. Menata Emosi, Memimpin Pikiran
Diam adalah teknik internal leadership. Ia melatih kita untuk tidak menjadi hamba emosi, melainkan pemimpin dari pikiran dan perasaan kita sendiri.

c. Menghimpun Wawasan, Bukan Sekadar Respon
Dalam diam, kita belajar membaca yang tidak terucap—gestur, irama suasana, bahkan bahasa hati. Ini adalah keterampilan esensial di industri hospitality yang berorientasi pada pelayanan berbasis empati.


3. Mengemas Diam Menjadi Narasi Bernilai

Tidak semua diam perlu dijelaskan, tapi bisa dibingkai menjadi narasi yang menghipnotis dan membentuk branding:

  • “Saya memilih tidak membalas bukan karena tidak mampu, tetapi karena saya menjaga kehormatan kita bersama.”
  • “Diam saya adalah bentuk penghargaan atas ruang dan waktu untuk semua pihak merenungkan pilihan terbaik.”

Narasi ini bukan defensif, tapi reflective. Bukan menjilat, tapi menyentuh. Ia menampilkan kelas, bukan sekadar eksistensi.


4. Studi Kasus: Diam yang Menang, Diam yang Mengubah

Case 1: Guest Complaints di Hotel Bintang Empat
Seorang tamu mencaci petugas resepsionis karena delay check-in. Petugas tidak membela diri. Ia hanya berkata, “Terima kasih Bapak/Ibu telah menyampaikan langsung. Izinkan kami memperbaiki dengan segera.”
Hasilnya? Tamu kembali tenang. Esok paginya, tamu yang sama meninggalkan review bintang lima.

Case 2: Konflik Internal Antardepartemen
Alih-alih menanggapi secara terbuka di grup kerja, seorang manager memanggil rekan yang terlibat secara pribadi. Ia mengawali dengan: “Saya mendengarkan. Saya tidak ingin kita saling menyalahkan, tapi mencari solusi.”
Dampak? Reputasi manajerialnya naik. Tim merasa dihargai.


5. Remedi: Saat Diam Mulai Menggerogoti Diri

Diam bisa menjadi racun jika tanpa arah. Maka, profesional sejati tahu kapan harus diam, dan kapan harus speak with grace.

  • Kenali Alarm Emosional: Jika perasaan tertekan sudah mengganggu kesehatan mental, diam bukan lagi strategi tapi bentuk penolakan realita. Bicaralah.
  • Gunakan Kata-Kata Strategis: Tidak semua harus dibungkam. Tapi latihlah seni menyampaikan dengan jeda dan irama, bukan dengan tekanan dan drama.
  • Catat Batas Waktu Diam: Beri tenggat bagi diri sendiri. “Jika belum selesai dalam seminggu, saya perlu mengambil langkah komunikasi.”

6. Diam adalah Seni Closing yang Efektif

Dalam dunia hospitality, menjual tak selalu soal kata-kata manis. Seringkali, justru jeda membuat calon tamu berpikir lebih mendalam:

“Ini kamar terbaik kami. Saya akan beri waktu Bapak/Ibu melihat sendiri, tanpa gangguan. Saya tunggu di lobi kapan pun Bapak siap memutuskan.”

Heningnya kepercayaan diri itulah yang menciptakan urgensi tanpa tekanan.


7. Merek yang Berkembang dari Keheningan

Anda tidak perlu selalu hadir di panggung untuk dikenal. Seorang profesional yang jarang muncul namun selalu relevan akan lebih diingat daripada mereka yang selalu muncul tapi kosong kontribusi.

“Stillness is not stagnation—it’s incubation.”

Gunakan diam sebagai ruang pembentukan makna. Biarkan portofolio, kualitas kerja, dan testimoni orang lain yang berbicara untuk Anda. Itu adalah branding paling otentik dan tak terbantahkan.


8. “Alon-alon waton kelakon, sepi ing pamrih, rame ing gawe”

Diam mengajarkan kita untuk fokus pada hasil, bukan sorotan. Untuk menjadi giat, bukan gaduh. Dalam konteks profesionalisme, ini bermakna: tetap produktif meski tak dipuji, tetap berkontribusi meski tak disorot.


9. Toolkit untuk Profesional yang Menjadikan Diam Sebagai Strategi

  • Latih “Pause Power”: Gunakan jeda 3 detik sebelum menjawab email sulit atau pertanyaan provokatif.
  • Terapkan Teknik “Observe Before React”: Simpan reaksi, baca situasi. Baru bertindak.
  • Gunakan Bahasa Tubuh Aktif: Tatapan mantap, senyum tenang, dan postur percaya diri membuat diam Anda tetap komunikatif.
  • Buat Komitmen Reflektif Harian: “Hari ini saya akan berbicara hanya jika ucapan saya memperbaiki situasi.”
  • Bangun Tim Inti Berbasis Trust: Di dalam lingkungan yang sehat, Anda tak harus selalu berbicara keras untuk didengar.

10. Diam, Namun Menggema Jauh ke Depan

Diam yang bijaksana bukanlah pelarian. Ia adalah tameng, arah, dan panggung tak terlihat dari mereka yang sedang menyiapkan lompatan. Profesional sejati tak perlu membela diri dengan mulut. Mereka bekerja dalam senyap, berdampak dalam gema.

“Aku pernah diam, dan di situlah aku tumbuh paling kuat.”

Jember, 15 May 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

Cahaya, Air, dan Keberanian: Ilmu Laku Profesional dalam Pariwisata dan Perhotelan

Dadiya sumunar sing ora nyulapi. Dadiya banyu ojo dadi watu. Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani.

Menjadi profesional yang dihormati bukan tentang seberapa keras suara Anda terdengar, tapi seberapa jauh sinar Anda menerangi. Dalam industri hospitality yang menuntut ketangguhan sekaligus kelembutan, filosofi luhur Jawa memberi tiga bekal utama: cahaya yang tak menyilaukan, keluwesan air yang menyejukkan, serta keberanian yang tak goyah oleh rasa takut. Inilah ilmu laku profesional: membentuk karakter, bukan hanya karier.


Bab 1: Menjadi Terang yang Menginspirasi, Bukan Menyilaukan

Pitutur: “Dadiya sumunar sing ora nyulapi” – Jadilah terang, tapi jangan menyilaukan.

Makna Luhur:
Cahaya yang sejati tidak menyakiti. Dalam peran kita sebagai pemimpin, staf pelayanan, atau pelaku branding, tugas utama adalah menerangi jalan—bukan membuat orang lain merasa kecil di bawah sinar kita. Profesional sejati tidak haus pengakuan, melainkan hadir membawa kejelasan, ketenangan, dan arah.

Solusi Praktis:

  • Tampilkan keunggulan Anda dengan bahasa yang rendah hati. Contoh: “Kami siap melayani Anda dengan sepenuh hati,” bukan “Kami yang terbaik.”
  • Tunjukkan kompetensi melalui kontribusi nyata, bukan pengakuan semata.
  • Hindari dominasi dalam tim. Cukup jadi kompas, bukan komando yang memadamkan suara lain.

Refleksi:
Apakah cara saya bersinar memberi dampak positif bagi lingkungan saya? Ataukah secara tak sadar justru membuat orang lain merasa terintimidasi?


Bab 2: Menjadi Air yang Menyatu, Bukan Batu yang Menghalangi

Pitutur: “Dadiya banyu ojo dadi watu” – Jadilah air, jangan jadi batu.

Makna Luhur:
Air mampu hadir tanpa melawan, tapi justru menembus dan membentuk. Dalam lingkungan kerja yang terus berubah, hanya mereka yang bersikap luwes, terbuka, dan mampu menyerap makna dari tiap kejadian yang dapat bertahan dan tumbuh. Air tidak keras, tapi tak mudah dikalahkan.

Solusi Praktis:

  • Latih keluwesan emosional (emotional agility): Jangan bereaksi spontan, tapi resapi dulu makna setiap dinamika.
  • Jadilah fasilitator antarbagian: bukan penghalang birokrasi, tapi jembatan yang mengalirkan solusi.
  • Bangun sikap adaptif: ketika SOP berubah, bukan protes, tapi cari pemahaman dan terobosan.

Refleksi:
Apakah saya seperti air yang memberi jalan, atau seperti batu yang justru membuat aliran terhambat?


Bab 3: Keberanian Itu Bukan Nekat, Tapi Siap Bertanggung Jawab

Pitutur: “Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani” – Kalau berani, jangan setengah hati; kalau takut, jangan pura-pura berani.

Makna Luhur:
Keberanian sejati bukan tentang tampil di depan, tapi tentang siap menerima akibat dari keputusan yang diambil. Profesional sejati bukan hanya pintar bicara, tetapi juga siap menghadapi situasi sulit dengan kepala tegak dan hati jernih.

Solusi Praktis:

  • Saat menawarkan ide atau keputusan, siapkan juga rencana aksi dan mitigasi.
  • Jangan ambil tanggung jawab yang belum Anda pahami; belajar dulu, lalu melangkah.
  • Hindari mental “asal berani tampil”—karena tanggung jawab lebih utama daripada pengakuan.

Refleksi:
Apakah saya sungguh siap menanggung akibat dari pilihan profesional saya, atau hanya ikut-ikutan demi terlihat unggul?


Bab 4: Pilar-Pilar Etika Profesi yang Tak Terbantahkan

Untuk menjadi sumunar tanpa nyulapi, banyu yang bukan watu, dan wani tanpa wedi-wedi, berikut prinsip yang tak bisa ditawar:

  1. Integritas Melekat, Bukan Sekadar Imbauan
    Profesional tidak menjual prinsip demi hasil cepat. Mereka konsisten, bahkan saat tak diawasi.
  2. Etika Pelayanan Adalah Jiwa Industri Ini
    Senyum Anda adalah investasi, bukan formalitas. Ketulusan Anda adalah diferensiasi, bukan basa-basi.
  3. Berani Berubah Itu Bagian dari Tumbuh
    Jangan tunggu krisis untuk belajar keluwesan. Jadikan setiap hari ruang eksperimen kecil untuk kebijaksanaan.
  4. Kesadaran Sosial Adalah Nilai Tertinggi
    Hospitality bukan sekadar urusan kamar dan makanan, tapi tentang merawat martabat manusia: tamu, tim, dan Anda sendiri.

Bab 5: Jalan Bertumbuh Profesional yang Konsisten dan Bermakna

Tips & Remedi:

  • Jurnal Harian Profesional: Catat 3 hal: kontribusi hari ini, tantangan yang dihadapi, dan satu kebijaksanaan yang dipetik.
  • Empathy Exercise: Sempatkan seminggu sekali berdiri di posisi rekan kerja lain. Pahami tantangan mereka.
  • Bina Diri Melalui Refleksi: Tanyakan: “Apa makna pekerjaanku hari ini untuk hidupku? Apa makna hidupku untuk pekerjaanku?”

Format Training:

  • Ajarkan bahwa kekuatan personal branding lahir dari sikap, bukan suara keras.
  • Tumbuhkan keyakinan bahwa selling bukan tentang menekan, tapi menanam kepercayaan.
  • Bangun inner branding dulu sebelum sibuk dengan feed sosial media.

Profesional yang Sumunar, Luwes, dan Ksatria

Filosofi Jawa tidak usang. Ia justru menjadi kompas paling manusiawi di tengah kecanggihan teknologi, tekanan target, dan dunia kerja yang serba cepat.

  • Menjadi terang bukan soal panggung, tapi bagaimana Anda membuat orang lain tidak tersesat.
  • Menjadi air bukan tentang pasrah, tapi tentang kecerdikan mengalirkan makna.
  • Menjadi berani bukan tentang melawan, tapi tentang siap bertanggung jawab.

Simpul Akhir:

Dalam industri hospitality, kualitas tertinggi bukan pada kemewahan fasilitas, tapi pada keanggunan sikap.
Karena profesional sejati tahu: pelayanan yang meninggalkan kesan tak lahir dari kesempurnaan, tapi dari kehadiran yang tulus, bijak, dan bertanggung jawab.

Jember, 14 May 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality & Konsultan

Share this:

KPI Dalam Industri F&B Bukan Sekadar Angka

KPI Bukan Sekadar Angka: Bahasa Bertumbuh, Berintegritas, dan Berkelanjutan dalam Dunia F&B

Dalam dunia Food & Beverage, rasa saja tidak cukup. Yang membedakan bisnis yang langgeng dan tim yang solid adalah konsistensi, pengendalian diri, dan penghormatan terhadap sistem kerja. Inilah seni bekerja dengan integritas. KPI bukan sekadar angka untuk diawasi, melainkan cermin pertumbuhan kolektif. “What gets measured gets improved. What gets improved builds trust.”


Angka yang Bernyawa, Sistem yang Bermartabat

Sebagaimana pepatah Jawa mengatakan, “Wong kang ngurmati tatanan, bakal nemoni tentreming urip.” Dalam setiap sistem yang tertata, ada kedamaian dan kemajuan. Dalam dunia F&B, di mana rasa berpadu dengan waktu dan layanan, kita perlu alat navigasi agar tidak sekadar berjalan, tetapi bertumbuh. KPI adalah bahasa manajemen yang menghubungkan rasa dengan hasil, pelayanan dengan keberlanjutan.

Berikut 10 KPI yang perlu dipahami bukan hanya untuk dikuasai, tapi untuk dimaknai.


1. Persentase Biaya Makanan (Food Cost Percentage) Formula: (Biaya Makanan / Pendapatan Makanan) x 100

Target ideal: 28%–35%, tergantung konsep.

Makna Filosofis: Seperti petani yang bijak menghitung benih dan hasil panen, pemimpin F&B perlu memahami proporsi biaya dan pendapatan sebagai wujud tanggung jawab.

Tips & Trik:

  • Rancang pembelian berdasarkan forecast yang realistis.
  • Cek ulang harga vendor setiap bulan, bukan setiap tahun.
  • Gunakan software pencatatan untuk akurasi dan transparansi.

Refleksi: Angka bukan alat tekan, tapi alat ajar. Dari food cost, kita belajar mengelola, bukan menekan.


2. Persentase Biaya Minuman (Beverage Cost Percentage) Formula: (Biaya Minuman / Pendapatan Minuman) x 100

Pisahkan per jenis: alkohol, non-alkohol, dan premium.

Pitutur Jawa: “Sak cangkir bisa maringi berkah, yen ditata kanthi jujur lan tertib.”

Solusi Praktis:

  • Gunakan takaran pasti untuk penuangan.
  • Audit bar secara berkala bersama tim, bukan diam-diam.

Hypnoselling Insight: “Every drop speaks. Listen before it leaks.”


3. Biaya Per Piring (Plate Cost) Per item menu, termasuk bahan, limbah, dan tenaga kerja masak.

Penerapan: Dasar untuk penentuan harga dan analisa profit menu. Jangan hanya andalkan menu bestseller—pahami margin-nya.

Remedi:

  • Hitung biaya resep secara berkala.
  • Lakukan simulasi harga jual dengan margin jelas.

Filosofi: Setiap piring adalah duta nilai dan kualitas kita.


4. Selisih Teoritis vs Aktual Biaya Makanan Rumus: Biaya Aktual – Biaya Teoritis

Selisih 2% bisa berarti kerugian jutaan rupiah tiap bulan.

Penyebab Umum:

  • Overportioning
  • Kebocoran stok
  • SOP yang tidak konsisten

Solusi Etis:

  • Ajak tim dapur berdialog, bukan diinterogasi.
  • Evaluasi sistem bukan menyalahkan personel.

Pitutur: “Aja mung nyalahke, nanging goleki sebab lan dalan metu.”


5. Waste Percentage Formula: (Nilai Makanan Terbuang / Total Pembelian Makanan) x 100

Kategori yang Dicatat:

  • Sisa prep
  • Spoilage
  • Return tamu

Solusi:

  • Gunakan metode FIFO.
  • Dokumentasikan limbah harian dengan empati dan niat memperbaiki.

Refleksi: Limbah bukan aib, tapi peluang belajar.


6. Average Check per Pax Rumus: Total Penjualan / Jumlah Tamu

Tujuan: Melihat efektivitas upselling dan daya tarik menu.

Tips Upselling Humanis:

  • Ajarkan waiter menjual lewat cerita, bukan tekanan.
  • Rancang menu yang secara visual dan emosi menggugah.

Quote: “Don’t sell what’s expensive. Offer what’s memorable.”


7. Persentase Biaya Tenaga Kerja (Labor Cost %) Rumus: (Biaya Tenaga Kerja F&B / Pendapatan F&B) x 100

Strategi Sehat:

  • Jadwalkan tenaga kerja berdasarkan proyeksi, bukan kebiasaan.
  • Hitung efisiensi shift, bukan sekadar jumlah orang.

Pitutur: “Kerjo iku ibadah. Ngatur jadwal iku keadilan.”


8. Margin Kontribusi Item (Item Contribution Margin) Rumus: Harga Jual – Total Biaya

Implementasi:

  • Susun matriks kontribusi vs popularitas.
  • Dorong rekomendasi pada item yang profitable dan disukai.

Motivasi: Strategi menang bukan di menu laris, tapi di menu cerdas.


9. Inventory Turnover Rate Rumus: HPP / Rata-rata Inventori

Makna:

  • Turnover rendah = modal mati.
  • Turnover tinggi = perputaran sehat.

Tips:

  • Jadikan stok mingguan sebagai momen edukasi tim.
  • Pahami siklus hidup setiap produk.

Pitutur: “Sing ora dipiguna, bakal dadi beban.”


10. Kepuasan Tamu F&B (Guest Satisfaction) Kombinasi review, kartu komentar, dan feedback meja.

Strategi:

  • Tanggapilah dengan rasa ingin tahu, bukan pembelaan.
  • Evaluasi menu, service, dan ambience secara holistik.

Quote: “Every guest is a teacher. Listen with your heart, not your ego.”


KPI sebagai Jalan Bertumbuh dan Berintegritas

Dalam dunia F&B, angka bukan alat hukum—tapi kompas pertumbuhan. KPI mengajarkan kita untuk peduli, bukan mengontrol secara membabi buta.

Bila filosofi Jawa berkata “urip iku urup,” maka setiap indikator adalah api kecil yang menyalakan proses menuju kualitas hidup kerja yang lebih baik: adil, transparan, dan manusiawi.

Integritas dimulai dari hal kecil: mencatat dengan jujur, mengevaluasi tanpa menyudutkan, dan memperbaiki tanpa saling menjatuhkan. KPI adalah bahasa universal yang menjembatani visi dengan aksi.


Saran Workshop:

  • Simulasi Food Cost & Margin Strategy
  • Latihan Soft Selling Empatik untuk Service Staff
  • Sesi Refleksi: Angka vs Nilai vs Makna
  • Dashboard KPI Interaktif dan Komunikatif

Quotes Penutup: “Measure with clarity. Lead with integrity. Grow with grace.”

Karena dapur bukan hanya tempat memasak, tapi tempat membangun budaya kerja yang menjunjung rasa, tata, dan martabat.

Jember, 6 Mei 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

n-JAWA-ni: Betaljemur Adammakna Menerjemahkan Cahaya Warisan menjadi Strategi Pariwisata Masa Depan

Dalam dunia yang digerakkan oleh algoritma dan kecerdasan buatan, ada satu pusaka tak tergantikan: kearifan yang telah teruji oleh waktu. Betaljemur Adammakna bukan sekadar manuskrip kuno—ia adalah cahaya yang mengajak kita untuk tidak hanya membangun industri pariwisata dan perhotelan, tetapi membangunnya dengan jiwa, tata krama, dan arah hidup. Inilah saatnya kita berhenti meniru tanpa rasa, dan mulai menafsirkan kembali nilai-nilai luhur menjadi sistem kerja, branding, dan pelayanan yang punya makna. Mari kita baca ulang warisan, agar kita tidak buta di jalan modernitas.


1. Apa Itu Betaljemur Adammakna dan Mengapa Penting?

Betaljemur Adammakna adalah naskah kuno Jawa yang secara harfiah berarti “berjemur dalam makna”. Naskah ini bukan sekadar pitutur atau ramalan, tetapi refleksi moral tentang hidup, tugas manusia, dan kebijaksanaan dalam bertindak. Dalam dunia industri perhotelan dan pariwisata yang penuh dinamika, Betaljemur adalah ‘GPS spiritual’ yang menyinari arah agar kita tak hanya bekerja, tapi juga mengabdi; tak hanya menjual jasa, tapi juga menyentuh jiwa.

Quote pemantik:
“Success is not about the destination you reach, but the direction you take.” — Zig Ziglar


2. Cocokologi yang Bukan Sekadar Asosiasi

Sering kali, cocokologi dianggap sepele—sebuah pencocokan maksa antara ajaran lama dengan realitas baru. Tapi jika dilakukan dengan sadar, cocokologi justru bisa menjadi conscious reinterpretation—yaitu penyesuaian yang memberi makna baru tanpa menghilangkan nilai asalnya.

Contoh praktis:

  • Dalam Betaljemur, dikenal ajaran tentang “urip kudu mawas diri” (hidup harus waspada dan sadar diri). Ini sangat relevan dalam era digital, di mana overexposure dan kurangnya empati justru menjatuhkan kredibilitas hotel.
  • Ajaran tentang “prasetya” (komitmen lahir batin) bisa ditransformasikan menjadi standar layanan hospitality: bukan hanya SOP, tapi juga SOP+—Standar Operasional Penuh Hati.

3. Strategi Branding dan Service Excellence ala Betaljemur

Dalam konsep hypnobranding, narasi adalah segalanya. Betaljemur menawarkan banyak simbol dan makna yang bisa diangkat sebagai pembeda branding hotel atau destinasi wisata Indonesia:

A. Branding Jiwa (Soulful Branding)

Branding yang tidak hanya memikat mata, tapi juga menyentuh hati.
Contoh: Hotel dengan konsep “Wisma Sasmita”—mengusung filosofi “rumah bagi yang mencari makna”, didesain tidak hanya estetik, tapi juga tempat kontemplatif (seperti menyediakan altar meditasi, pojok literasi budaya, dll).

B. Service sebagai Dharma (Layanan sebagai Jalan Hidup)

Layanan bukan sekadar tanggung jawab, tapi panggilan jiwa (calling).
Pelatihan karyawan bisa berbasis pada filosofi “Ngabekti” (melayani dengan rasa hormat), bukan sekadar keterampilan komunikasi.


4. AI dan Teknologi dalam Bingkai Pitutur

Artificial Intelligence adalah alat. Tapi yang mengarahkan alat adalah nilai. AI bisa bantu optimalisasi reservasi, chatbot pelayanan, dan manajemen reputasi online. Tapi Betaljemur mengingatkan: “Ilmu tanpa budi, koyo segara tanpa banyu”—pengetahuan tanpa kebijaksanaan adalah lautan tanpa air.

Tips & Triks:

  • Gunakan AI untuk mengefisienkan waktu, tapi biarkan manusialah yang menyentuh hati tamu.
  • Terapkan CRM berbasis AI dengan fitur empathy mapping agar email follow-up terasa lebih manusiawi.
  • Kembangkan ChatGPT custom hotel Anda dengan sentuhan bahasa lokal yang santun dan bersahabat—jangan hanya formal, tapi penuh tepa slira.

5. Pilar Cocokologi Betaljemur untuk Pengembangan Pariwisata

Berikut ini adalah pendekatan konkret yang bisa dijadikan fondasi pelatihan dan pengembangan:

1. Piwulang (Kebijaksanaan)

Semua pelatihan hospitality harus diawali bukan dari cara menyambut tamu, tapi dari filosofi “tamu adalah titipan semesta.”

2. Pakarti (Etika Perilaku)

Etika berpakaian, bertutur, dan bertindak haruslah berdasarkan kesadaran diri dan rasa hormat, bukan hanya aturan.

3. Pradaksina (Kesadaran Akan Siklus)

Pemahaman bahwa karir itu berputar. Maka rendah hati saat di atas, dan setia belajar saat di bawah.

4. Pralambang (Simbol dan Representasi)

Gunakan simbol lokal dalam interior hotel: bukan sekadar dekorasi, tapi ajakan berdialog dengan budaya.


6. Inspirasi Pelatihan dan Workshop

Materi workshop dapat dikembangkan dari 3 skenario:

A. Self-Talk Coaching:
Latihan refleksi: “Apakah aku sedang menjalani profesi atau sedang menjalankan jiwa?”

B. Storytelling Internal Branding:
Latihan membuat narasi pengalaman karyawan saat menyentuh hati tamu—bukan tentang revenue, tapi tentang resonansi.

C. Customer Experience Mapping Berbasis Pitutur:

Visualisasi customer journey dari check-in sampai check-out berbasis prinsip “eling lan waspada” (sadar dan awas).


7. Remedi bagi Hotel dan SDM yang Kehilangan Arah

Jika hotel Anda stagnan, SDM burnout, tamu hanya puas tapi tidak loyal, mungkin yang kurang bukan inovasi—tapi integritas rasa.

Solusi praktis:

  • Adakan sesi “Makna & Misi Harian” sebelum briefing pagi, seperti pembacaan kutipan Betaljemur atau filosofi Jawa.
  • Terapkan sistem reward yang mengapresiasi tindakan penuh integritas, bukan sekadar pencapaian target angka.
  • Bangun komunitas “Sesarengan Mbangun Adab”—komunitas lintas bagian yang berfokus pada nilai, bukan hanya KPI.

8. Menjual dengan Rasa

Dalam marketing hotel, jangan hanya jual fasilitas. Jual juga nilai. Gunakan copywriting yang menghipnotis bukan dengan bombastis, tapi dengan empati:

Contoh kalimat hipnotik:

“Di sini, Anda tidak hanya beristirahat—Anda pulang kepada diri sendiri.”
“Kami bukan hotel bintang lima. Kami rumah yang menerangi langkah Anda.”
“Layanan kami tidak bersuara keras, tapi berbicara dalam hati Anda.”


9. Panduan Universal untuk Generasi Matang dan Digital

Apakah cocok untuk usia matang? Justru merekalah jembatan antar generasi.
Apakah bisa dijadikan panduan di era AI? Justru nilai-nilai inilah fondasi algoritma yang bermakna.

Langkah-langkah transformasi:

  1. Audit nilai internal hotel: Apa yang selama ini diyakini, dan apa yang hanya rutinitas?
  2. Digitalisasi narasi: Buat kanal YouTube, blog, podcast dengan topik “Filosofi Layanan” atau “Ngerti Rasa: Antara Budaya dan Bisnis.”
  3. Jadikan budaya lokal sebagai aset training onboarding. Bukan hanya sebagai “hari batik,” tetapi sebagai sistem nilai yang dihidupkan.

Menerjemahkan Terang Menjadi Tindakan

Betaljemur Adammakna mengajarkan kita bahwa cahaya bukan hanya untuk dilihat, tetapi untuk menghangatkan, menumbuhkan, dan menerangi. Dalam industri perhotelan dan pariwisata yang digempur disrupsi dan kecanggihan, inilah saatnya kita tidak hanya update software bisnis—tapi juga upgrade firmware hati.


“Wisdom is timeless, and relevance is a matter of how you apply it.”
— Jeffrey Wibisono V.


Jika Anda seorang pemilik hotel, praktisi pariwisata, mentor, atau pemimpin tim, pertimbangkan untuk menjadikan filosofi ini sebagai blueprint workshop, kurikulum pelatihan, atau bahkan brand soul perusahaan Anda.

Bukan untuk menjadi kuno. Tapi agar tetap berakar, meski terus tumbuh ke langit.

Apakah Anda siap membangun industri yang tak hanya besar, tapi juga berkarakter?

Jember, 2 Mei 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this: