Etika lisan di era visual: saat piring ditata rapi untuk kamera, tapi kata-kata disajikan tanpa filter. Pelajaran penting untuk dunia hospitality.
Etika lisan di era visual: saat piring ditata rapi untuk kamera, tapi kata-kata disajikan tanpa filter. Pelajaran penting untuk dunia hospitality.

Makanan Difoto, Omongan Dimakan

Estetika Piring, Etika Lisan dalam Industri Pariwisata dan Perhotelan

.

“Speak only if it improves upon the silence.”
— Mahatma Gandhi

.

Dunia yang Terlalu Visual, Lupa Nilai Verbal

Di era digital yang haus validasi, kita menyaksikan betapa estetika menjadi mata uang sosial. Dalam industri pariwisata dan perhotelan, segalanya harus instagrammable: mulai dari plating makanan, tatanan meja, sudut cahaya kamar hotel, hingga seragam karyawan. Kita hidup di dunia di mana visual memenangkan perhatian, dan engagement sering kali lebih diprioritaskan daripada empati.

Namun, apa yang tidak tampak justru sering kali lebih membekas. Kata-kata yang keluar dari mulut bisa menjadi santapan paling menyakitkan dalam hidup seseorang. Ironisnya, dalam profesi pelayanan, etika verbal adalah hidangan utama yang justru sering luput dari training menu.

Bukan semata soal what’s on the plate, tapi what’s in your mouth—itulah filosofi mendalam yang ingin kita gali.


Bab 1: Piringmu Indah, Tapi Katamu Bisa Membuat Luka

Ada satu prinsip dalam pitutur luhur Jawa yang patut direnungkan oleh setiap hospitalian:

“Ajining dhiri saka lathi.”
(Harga diri seseorang terletak pada ucapannya.)

Seringkali dalam pelatihan layanan pelanggan, kita sibuk mengajarkan teknik menghidangkan makanan, merapikan tempat tidur, dan menyambut tamu dengan senyum, namun lupa satu hal: etika bicara.

Kita lihat betapa lihainya seorang waiter menyusun garnish, tapi tak tahu cara menyapa tamu dengan hormat.
Kita saksikan seberapa akurat concierge menghafal jadwal city tour, tapi tersinggung saat ditanya soal background pendidikannya.

Kata-kata adalah alat komunikasi, tapi jika digunakan sembarangan, bisa jadi alat perusak reputasi.


Bab 2: Lidah Tajam Mengalahkan Garpu Tajam

Dalam dunia hospitality, garpu dan pisau yang tajam bisa memberi pengalaman makan yang baik, tetapi lidah yang tajam bisa menghancurkan pengalaman itu seketika.

Contoh nyata:

  • Seorang tamu wanita check-in sendiri, dan seorang resepsionis berkomentar, “Sendiri ya, Mbak? Ditinggal suami atau jomblo?”
  • Seorang staf HRD bertanya pada pelamar, “Kamu nggak malu sudah umur segini belum jadi supervisor?”

Komentar seperti ini terlihat ‘ringan’ bagi pelontarnya, tapi bisa menjadi bom waktu bagi pendengarnya.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?


Bab 3: 5 Tips Hypnowriting dan Hypnoselling Komunikasi Lisan yang Membangun

1. Gunakan Kata Netral yang Menghangatkan

Daripada bertanya “Kok kamu kurusan?”, lebih baik katakan, “Apa kabar? Sehat-sehat ya?”
Kata-kata yang netral menghindarkan kita dari presumptive judgment.

2. Praktikkan Teknik “Pause and Praise” sebelum Berkomentar

Sebelum bicara, ambil jeda 3 detik. Gunakan waktu ini untuk menyaring: “Apakah ini perlu? Apakah ini baik? Apakah ini menyenangkan?”

3. Fokus pada Pengalaman, Bukan Penilaian

Gantilah “Makanannya kurang enak ya,” dengan “Saya rasa rasanya unik, mungkin butuh waktu untuk terbiasa.”
Ini menunjukkan rasa hormat tanpa menghilangkan opini.

4. Pakai Teknik Hypnoselling: Puji, Tanya, Ajak

Contoh saat menyapa tamu:
“Selamat datang kembali, Bapak. Masih ingat kopi favorit Bapak, double espresso? Hari ini kami punya biji dari Flores, boleh kami sajikan?”

Ini selling, tapi juga caring.

5. Terapkan Prinsip Branding Verbal

Bicaralah seperti brand hotel Anda ingin dikenang. Jika hotel Anda ingin dikenal ramah, semua kata-kata Anda harus terasa ramah, bukan hanya di brosur, tapi dalam interaksi.


Bab 4: Dunia yang Terlalu Sering Berkaca, Tapi Jarang Bercermin

Dunia kita dipenuhi kaca—cermin, layar ponsel, monitor komputer, bahkan kaca jendela restoran. Tapi tak semuanya berfungsi untuk refleksi diri.

“Everyone is a photographer now, but not everyone is a good communicator.”
Anonymous

Setiap staf di industri ini seharusnya tak hanya diajari bagaimana menjadi face dari brand, tapi juga menjadi voice of kindness.

Karena pelanggan tak hanya akan mengingat kamar luas atau makanan enak, tapi akan selalu mengingat bagaimana mereka diperlakukan.


Bab 5: Remedi Kultural — Kembali pada Pitutur Jawa

Mari kita pinjam lagi petuah bijak Jawa:

“Mikul dhuwur, mendhem jero.”
(Menjunjung tinggi kebaikan orang lain, dan menyimpan dalam-dalam kekurangannya.)

Petuah ini mengajarkan untuk menjadi pemaaf yang elegan, bukan penilai yang cerewet.

Dalam praktik hospitality, ini berarti:

  • Tidak mengkritik tamu yang tidak sesuai standar Anda.
  • Tidak menggunjing kolega yang sedang berproses.
  • Tidak menyindir staf magang di depan tamu.

Bab 6: Implementasi dalam Workshop & Pelatihan Hospitality

Berikut adalah contoh aktivitas pelatihan praktis yang bisa digunakan untuk menerapkan nilai-nilai ini:

🔹 Role Play 3 Level Service Response

  1. Respon yang kasar
  2. Respon yang netral
  3. Respon yang etis dan memikat

Berikan kasus nyata, misal: tamu protes air panas mati.

🔹 Mirror Speech Practice

Latih peserta pelatihan berbicara di depan cermin sambil mengevaluasi ekspresi dan nada bicara mereka.

🔹 Verbal Branding Map

Peserta membuat daftar kalimat yang boleh dan tidak boleh diucapkan dalam pekerjaan mereka.

🔹 Emotional Menu Exercise

Latihan menyusun “menu emosi” dalam melayani tamu:

  • Starter: Senyum
  • Main Course: Ucapan Ramah
  • Dessert: Pujian Tulus
  • Minuman: Empati Hangat

Bab 7: Mengunyah Sebelum Menyuap — Menyaring Sebelum Bicara

Dalam filosofi Stoikisme, ada kebiasaan reflektif sebelum berbicara:

“Is it true? Is it necessary? Is it kind?”
— Epictetus

Bila kita bisa menyaring kata seperti menyaring kopi, hasilnya akan lebih jernih, lebih harum, dan tidak menyisakan ampas sakit hati.

Sama halnya seperti makanan yang harus disesuaikan dengan selera pelanggan, kata-kata juga perlu diolah dengan rasa, agar tidak membuat pendengarnya alergi.


Kesimpulan: Etika Adalah Piring Tak Kasat Mata

Industri perhotelan dan pariwisata adalah industri keindahan: keindahan pelayanan, keindahan visual, dan semestinya juga keindahan sikap. Jangan sampai makanan yang indah disajikan oleh tangan yang kasar dalam ucapan.

📌 Estetika akan menarik perhatian.
📌 Tapi etika—itulah yang akan meninggalkan kesan.

Kita bisa memoles makanan agar menggugah selera. Maka mari juga kita poles ucapan agar menggugah rasa.


Takeaways & Action Steps

  1. Terapkan pause before reply – Diam sejenak sebelum menjawab, lalu balas dengan empati.
  2. Buat daftar kalimat terlarang dalam tim – Latih awareness terhadap potensi omongan menyakitkan.
  3. Bangun verbal branding dalam SOP – Jadikan etika komunikasi sebagai bagian dari standard operating procedures.
  4. Evaluasi sesi pelayanan dengan rekaman suara dan ekspresi – Agar hospitality tak hanya visual, tapi juga vokal dan moral.
  5. Libatkan HR dan PR dalam pelatihan komunikasi – Karena merek bukan hanya soal logo, tapi juga kata-kata yang diucapkan.

Dunia Tak Butuh Lidah Tajam, Tapi Hati yang Lembut

“Kita tidak pernah tahu kata mana yang menjadi akhir bagi seseorang. Maka ucapkanlah dengan kasih.”
Mentorship pitutur Jawa

Dalam dunia hospitality, bukan hanya makanan yang harus hangat. Kata-kata juga. Karena pada akhirnya, pelanggan tak hanya ingin makan enak. Mereka ingin diperlakukan sebagai manusia—dengan hormat, dengan hangat, dan dengan sepenuh hati.


.

.

.

Jember, 26 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Konsultan

.

.

#EtikaLebihPentingDariEstetika
#VerbalBrandingHospitality
#MakananDifotoOmonganDimakan
#PelatihanEtikaPerhotelan
#MentorshipNusantara

Share this:

Leave a Reply

WhatsApp chat