“Antara Dua Dunia: Mengapa Rebranding Hotel Lebih Sulit Dibandingkan Pre-Opening — Kisah Nyata Seorang General Manager”
“Antara Dua Dunia: Mengapa Rebranding Hotel Lebih Sulit Dibandingkan Pre-Opening — Kisah Nyata Seorang General Manager”

Hotelier Stories: Mengapa Rebranding Hotel Lebih Sulit Dibandingkan Pre-Opening?

“Antara Dua Dunia: Mengapa Rebranding Hotel Lebih Sulit Dibandingkan Pre-Opening — Kisah Nyata Seorang General Manager”

Dua Jalan, Satu Tanggung Jawab

Di dunia perhotelan, banyak yang membayangkan bahwa memimpin pembukaan hotel baru—pre-opening—adalah puncak dari kompleksitas karier seorang General Manager. Tapi pengalaman pribadi saya, Jeffrey Wibisono V., justru menampilkan sisi lain dari panggung ini. Bahwa rebranding sebuah hotel, apalagi yang telah lama beroperasi dengan identitas tertentu, jauh lebih rumit, menantang, dan menuntut jiwa kepemimpinan yang lebih dewasa dan spiritual.

Dalam artikel ini, saya akan membedah pengalaman nyata saya, bukan untuk menggurui, melainkan untuk memberi gambaran komprehensif—secara filosofis, teknis, dan mental—bagaimana menjadi GM rebranding adalah tugas multidimensi yang menguji IQ, EQ, SQ, dan AQ (Adaptability Quotient) secara bersamaan.


1. Perbedaan Filosofis: Melahirkan vs Menghidupkan Kembali

Pre-opening adalah proses melahirkan. Kita menyusun SOP dari nol, merekrut, membentuk budaya, menanamkan nilai-nilai sesuai dengan visi brand. Seperti membangun rumah dan mengundang jiwa untuk tinggal di dalamnya.

Rebranding adalah proses menghidupkan kembali. Lebih dari sekadar ganti logo atau dekorasi, ini seperti mengoperasi hati dan jiwa sebuah hotel yang sudah terbentuk, namun tidak lagi relevan, atau bahkan menua dan menurun reputasinya.

“To change something, build a new model that makes the existing one obsolete.” — Buckminster Fuller

Namun sayangnya, kita tidak bisa “menghapus” sejarah operasional hotel sebelumnya. Kita harus menyembuhkan luka lama, menambal kebocoran invisible, dan membangun kepercayaan ulang dari internal hingga eksternal.


2. Tantangan Tak Kasat Mata: Warisan Lama, Ego Lama, Drama Lama

Dalam rebranding, GM bukan hanya manajer, tetapi juga tabib, kadang psikiater organisasi.

  • Banyak karyawan senior yang “terlalu nyaman” dengan pola lama.
  • Beberapa tim merasa takut kehilangan zona nyamannya.
  • Ada jaringan relasi (pemasok, vendor, tamu lama, dan media lokal) yang masih membawa ekspektasi dari brand lama.

Bayangkan mengubah “mindset” yang sudah 10 tahun terbentuk, dalam waktu 12 bulan—itulah seni dari rebranding.

Tips #1: Terapkan ‘Tirakati, Titeni, Enteni, Pateni’.

Tirakati dalam artian disiplin spiritual & integritas,
Titeni sebagai analisis mendalam pada kebiasaan & pola kerja lama,
Enteni sebagai seni kesabaran perubahan bertahap,
Pateni bukan membunuh, tetapi mematikan pola destruktif lama.


3. Tekanan dari Atas dan Harapan dari Bawah

Sebagai GM rebranding, Anda menghadapi:

  • Pemilik hotel yang ingin hasil instan dengan anggaran ketat,
  • Staff yang menanti kejelasan nasib & arah baru,
  • Tamu loyal yang bertanya, “Masih seperti dulu, kan?”

Bandingkan dengan pre-opening: belum ada “kisah masa lalu.” Anda bebas membentuk karakter. Sedangkan dalam rebranding, Anda sedang mengusir “roh-roh masa lalu” sambil menyulap keajaiban baru.


4. Branding vs Hypnobranding: Kepercayaan yang Menular

Dalam rebranding, bukan hanya bicara soal logo, interior, atau tagline, melainkan mengembalikan kepercayaan publik dan industri.

Di sini saya menggunakan pendekatan Hypnobranding:
Menanamkan kesan, bukan hanya kesan visual, tetapi kesan emosional yang melekat dan membentuk narasi.

“Brand is not what you say it is. It’s what they say it is.” — Marty Neumeier

Tips #2: Latih semua staf frontliners dengan skrip narasi yang membawa makna transformasi hotel.
Contoh narasi:

“Kini kami hadir dengan semangat baru, layanan lebih bersahabat, dan komitmen yang lebih tinggi dari sebelumnya. Anda akan merasakan perbedaannya sejak langkah pertama Anda.”


5. Remedi Emosional: Healing Internal Team

Salah satu remedi terbaik dalam rebranding adalah membentuk ritual baru. Saya pernah memulai:

  • Briefing pagi yang diawali dengan core value pitutur luhur seperti “urip iku urup” dan dilanjut dengan team chanting.
  • Menyusun kembali job description dengan bahasa yang memotivasi bukan menakut-nakuti.
  • Menyediakan sesi coaching untuk semua department head—karena pemulihan energi dimulai dari mereka.

Tips #3: Hypno-Coaching untuk Department Head.
Pilih satu jam seminggu untuk duduk berdua dengan setiap DH. Dengarkan. Jangan koreksi dulu. Pahami dulu trauma organisasional mereka.


6. Trik Personal Branding: GM sebagai Figur Transformasional

Berbeda dari pre-opening di mana GM lebih mirip arsitek, dalam rebranding GM harus seperti dalang wayang. Kadang muncul di panggung, kadang diam tapi mengatur arah. Sering kali harus menjadi simbol harapan, ketenangan, dan perubahan itu sendiri.

Hypnoselling untuk internal team:

“Saya tidak datang untuk mengganti kalian. Saya datang untuk menyalakan kembali semangat terbaik kalian.”

Tips #4: Bangun citra yang autentik, bukan dramatis.
Menjadi GM bukan tentang duduk di office dan menandatangani memo. Tapi tentang menjadi mercusuar di tengah kabut operasional.


7. Evaluasi: 3 Bulan, 6 Bulan, 9 Bulan, 12 Bulan

Dalam pre-opening, biasanya timeline disusun sebelum pembukaan.

Dalam rebranding, saya menyusun milestone berbasis 90 hari:

  • 0–3 bulan: Analisa trauma, koreksi SOP, bangun relasi personal.
  • 4–6 bulan: Uji coba campaign branding, bangun citra baru di media lokal.
  • 7–9 bulan: Retensi tamu loyal, launching visual identity, evaluasi kepuasan tim.
  • 10–12 bulan: Mulai monetisasi diferensiasi dan ekspansi kerjasama industri.

Tips #5: Dokumentasikan prosesnya.
Transformasi yang tak terdokumentasi akan dilupakan. Buat “Rebranding Logbook” yang bisa jadi referensi GM penerus.


8. Pengalaman Nyata: Ketika Rebranding Tanpa Otoritas Penuh

Saya pernah mengalami tahun terberat sebagai GM rebranding hotel di Bali. Saya dipekerjakan sebagai “penjaga” transisi saat brand lama dilepas dan brand baru belum memiliki kejelasan bentuk. Saya reliever tanpa kuasa penuh, tapi harus menjadi wajah di depan tamu dan media.

Namun, saya tetap:

  • Membangun kepercayaan di level tim.
  • Menjaga okupansi agar tetap di atas 80%.
  • Menutup tahun dengan GOP di atas 58% — hasil yang tak hanya bagus, tapi memulihkan kepercayaan pemilik kepada brand dan sistem.

“Do not seek power. Seek responsibility. Power will follow.” – Pitutur GM Sejati


9. Rebranding Itu Bukan Restart, Tapi Resurrect

Rebranding bukan hanya tentang perubahan logo, nama, atau dekorasi. Tapi tentang menghidupkan ulang energi, reputasi, dan jiwa organisasi. Dan itu semua dimulai dari leadership yang sadar diri dan sadar makna.

Jadi, apakah lebih sulit dibanding pre-opening?
Jawabannya: Ya. Karena pre-opening membentuk tubuh, tetapi rebranding harus menyembuhkan luka dan meniupkan nyawa baru.


10. Dari Kisah Menjadi Pelajaran

Bagi Anda yang sedang atau akan mengambil peran sebagai GM rebranding, ingatlah:

✅ Jadilah penyembuh, bukan hanya pengatur.
✅ Bawa semangat hidup baru, bukan hanya perintah.
✅ Gunakan pitutur Jawa sebagai kearifan lokal, dan quotes global sebagai perspektif inspiratif.
✅ Bangun sistem baru dengan hati, bukan hanya dengan KPI.
✅ Dan jadilah figur yang diteladani—bukan ditakuti.

“Don’t fix the hotel. Heal the people. The people will fix the hotel.” – Jeffrey Wibisono V.

Jember, 26 May 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

Leave a Reply

WhatsApp chat