n-JAWA-ni: Bersahaja dalam Kuasa, Bersuara dalam Tata

“Guguk karsaning priyonggo, nora nganggo peparah lamun angling. Lumo engaran balilu. Uger guru aleman sak karepe dewe.”
(Artinya secara bebas: Anjing pun bisa menjadi mulia jika ia tunduk pada tuannya, tapi manusia yang bicara sembarangan tanpa aturan hanya akan menjadi perusak. Jika seseorang hanya menjadikan pujian sebagai pedoman, dan hidup semaunya sendiri, maka itu awal dari kebodohan.)

“Speak only if it improves upon the silence.” – Mahatma Gandhi
“Wong pinter meneng, wong bodho ngocoh. Sing paling rame iku sing paling ora ngerti.”

“Guguk karsaning priyonggo, nora nganggo peparah lamun angling. Lumo engaran balilu. Uger guru aleman sak karepe dewe.”
(Artinya secara bebas: Anjing pun bisa menjadi mulia jika ia tunduk pada tuannya, tapi manusia yang bicara sembarangan tanpa aturan hanya akan menjadi perusak. Jika seseorang hanya menjadikan pujian sebagai pedoman, dan hidup semaunya sendiri, maka itu awal dari kebodohan.)

Filosofi yang Kerap Terlupakan

Di dunia yang ramai oleh suara—media sosial, ruang diskusi, meja kerja, dan bahkan ruang seminar—semua orang ingin bicara. Ingin didengar. Tetapi tidak semua tahu kapan harus berbicara, bagaimana menyuarakan kebenaran, dan untuk apa ia berkata-kata.

Pitutur luhur Jawa ini mengingatkan kita bahwa berbicara tanpa kerangka berpikir, tanpa tata krama, dan tanpa tujuan mulia—adalah asal muasal dari kerusakan moral, sosial, bahkan profesional. “Guguk karsaning priyonggo” saja bisa lebih mulia dibanding manusia yang hanya bisa angling tanpa pikir panjang.

Dalam dunia pariwisata dan perhotelan, banyak dari kita menghadapi klien, kolega, atasan, atau staf yang tidak tahu batas. Tidak tahu struktur dalam berbicara dan bertindak. Maka dari itu, mari kita kupas makna mendalam dari pitutur ini, dan bagaimana kita bisa menggunakannya sebagai dasar untuk hidup dan memimpin dengan lebih bijak.


1. Guguk yang Mulia: Loyalitas dan Etika dalam Tugas

Guguk (anjing) dalam pitutur ini bukan dimaknai sebagai hinaan, melainkan simbol loyalitas yang ekstrem. Ia tidak pernah berlagak tahu lebih dari tuannya, tidak memamerkan dirinya, dan tidak mendebat.

“Loyalty isn’t grey. It’s black and white. You’re either loyal completely or not loyal at all.” – Sharnay

Di sektor pelayanan—baik di front office, housekeeping, maupun manajemen atas—kerendahan hati dan loyalitas terhadap visi bersama adalah fondasi utama. Bahkan jabatan paling tinggi pun harus tahu bagaimana menjadi pelayan terbaik. Seorang General Manager bukan berarti “penguasa”, tetapi chief servant bagi tim dan tamunya.

Tips Praktis:

  • Tundukkan ego: Belajar mendengarkan sebelum menjawab.
  • Jaga reputasi dengan tindakan, bukan ucapan.
  • Lakukan silent leadership: memimpin lewat teladan, bukan jargon.

2. “Nora nganggo peparah lamun angling”: Suara Tanpa Tata, Jalan ke Jurang

Manusia punya anugerah: lidah. Tapi di sinilah letak kerentanannya. Berapa banyak karier, hubungan, reputasi, bahkan perdamaian hancur hanya karena satu kalimat yang meluncur tanpa pikir?

“Think before you speak. Read before you think.” – Fran Lebowitz

Dalam pelatihan customer service, kita diajarkan untuk “pause, assess, deliver.” Ini bukan sekadar prosedur, tapi filosofi hidup. Bahkan dalam diskusi yang memanas, pemimpin sejati tahu kapan menahan diri.

Remedi:

  • Terapkan prinsip 3 detik: diam sebelum menjawab.
  • Latih diri dengan journaling untuk menyaring emosi.
  • Gunakan bahasa konstruktif, bukan konfrontatif.

3. “Lumo engaran balilu”: Pemimpin Tanpa Arah, Masyarakat Tanpa Cahaya

Lumo (liar, rusak moralnya), Balilu (bodoh karena tak bisa membedakan mana benar mana salah). Ini adalah metafora bagi pemimpin atau figur publik yang berbicara dan bertindak sekehendaknya, tidak memahami dampak sosial dari ucapannya.

“With great power comes great responsibility.” – Voltaire (often quoted via Spider-Man)

Di dunia pariwisata, siapa pun yang menjadi role model—chef, receptionist, brand ambassador, manajer, bahkan influencer pariwisata—mempunyai tanggung jawab untuk mengedukasi dan menginspirasi, bukan hanya menghibur.

Solusi Praktis:

  • Adakan evaluasi etika komunikasi secara berkala.
  • Bangun budaya feedback yang sehat di tempat kerja.
  • Ingatkan diri: bicara untuk memberi makna, bukan panggung.

4. “Uger guru aleman sak karepe dewe”: Kalau Aturan Hanya Dipakai untuk Memuji, Maka Hancurlah Segalanya

Ketika seseorang hanya menggunakan ‘guru’ sebagai tempat pujian (alem), bukan tempat koreksi, maka dia akan menjadi pribadi yang arogan dan anti kritik.

Dalam manajemen hotel, misalnya, kita sering menemukan staf yang hanya ingin dilaporkan kebaikannya, bukan kesalahannya. Akhirnya budaya “asal bos senang” lahir. Ini berbahaya.

“True mentorship is not about making followers, but shaping thinkers.” – Simon Sinek

Motivasi dan Inspirasi:

  • Jadilah pembelajar seumur hidup, bukan pencari validasi.
  • Terima koreksi sebagai bentuk kasih sayang profesional.
  • Bangun culture belajar, bukan budaya asal laporan baik.

Refleksi Diri: Apakah Aku Sudah Bijak dalam Bicara dan Bertindak?

Seorang profesional sejati bukan hanya ditandai dengan seberapa banyak ia tahu, tetapi seberapa besar ia mampu mengendalikan diri. Mengatur kata-katanya, menimbang dampaknya, dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya.

“Wong sing bisa ngendhaleni awak lan tutuké, bakal bisa mimpin jagadé.”
(Barangsiapa bisa mengendalikan diri dan lisannya, ia akan mampu memimpin dunianya.)


Workshop Exercise (Untuk Pelatihan dan Pengembangan Diri)

Latihan 1: “Pause Before You Speak”

  • Instruksikan peserta menuliskan satu pengalaman buruk karena ucapan yang tidak ditimbang.
  • Lalu refleksikan: bagaimana seharusnya respon bijak yang bisa diambil saat itu?

Latihan 2: “My Pitutur Board”

  • Buat papan inspirasi pribadi berisi:
    • Pitutur Jawa favorit
    • English quote favorit
    • Resolusi komunikasi diri
    • Feedback yang paling mengubah hidup

Latihan 3: Roleplay

  • Simulasikan situasi konflik antara staf dan tamu.
  • Tugas peserta: menyampaikan pendapat secara tegas tanpa kehilangan rasa hormat.

Kesadaran adalah Awal dari Perubahan

Pitutur luhur ini mengajarkan satu hal mendasar: jangan pernah merasa paling benar hanya karena bisa bicara. Kadang diam lebih mulia, mendengar lebih bijak, dan tindakan nyata lebih lantang dari pidato panjang.

Kehidupan profesional dan personal adalah panggung pembuktian dari karakter kita. Dan karakter itu tercermin bukan dari pangkat atau portofolio, tapi dari cara kita berbicara, berpikir, dan berperilaku.

“Let your words be few, and your actions be loud. Speak only if it lifts others, heals hearts, or builds bridges.”

Jember, 22 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *