Saya ingin sharing tentang intisari kualitas SDM (Sumber daya Manusia) dari generasi Milenial sebagai penerus tongkat estafet kinerja demi kelangsungan banyak industri. Sudah kita pelajari karakteristik setiap generasi yang berbeda. Behaviour yang terbentuk tergantung pola asuh orangtua dan lingkungan keluarga. Juga ada pengaruh faktor luar dari pergaulan yang dapat merubah pola pikir dari bahan bacaan, bahan tontonan dan bahan pembicaraan.
Lepas dari tendensi motivasi kerja generasi milenial yang
sangat menghendaki kebebasan dan lebih independen tetpai sukses, di tulisan ini
saya mengangkat beberapa kesempatan untuk mereka yang bekerja kantoran atau di
organisasi industri.
Saya percaya bahwa pedoman manajemen ini akan membantu kita meningkatkan motivasi kerja karyawan. Saya memiliki empat tahap yang mestinya teman-teman leaders sudah memahami nya juga.
Pertama adalah kita deal
dengan Pekerja Pemula yang Penuh Semangat/ Antusias
Tipe ini adalah karyawan kontrak dan karyawan tetap dari generasi milenial yang sudah bersemangat ingin mencoba segala sesuatu yang baru dan tidak perlu banyak cheer-leaders. Tetapi para pimpinan di wilayah kerja mereka tidak boleh lalai, Mereka, Pekerja Pemula yang Penuh Semangat ini, masih membutuhkan instruksi dan arahan khusus. Bersiaplah untuk menjawab banyak pertanyaan agar mereka tetap di jalurnya
Selanjutnya adalah Pelajar
yang kecewa
Tipe karyawan ini tampak sering frustrasi karena menghadapi fakta bahwa ternyata pekerjaan yang harus mereka hendel ternyata lebih berat dari yang mereka bayangkan sebelumnya. Syok!. Keceriaan mereka menurun drastis dengan cepat. Mereka juga masih belajar dan tidak banyak menunjukkan kemampuan mereka. Untuk mengangkat tipe pekerja ini dari keterpurukan, mari kita beri mereka banyak umpan balik yang spesifik dan tepat waktu tentang progress kerja dan kemajuan kinerja mereka. Evaluasi kerja termasuk memberikan pujian dengan agenda tatap muka adalah salah satu cara terbaik.
Kemudian kita mempunyai anggota tim yangcapable tetapi terlalu berhati-hati
.
Karyawan milenial kategori ini adalah mereka yang telah
melakukan pekerjaan dengan benar. Tetapi mereka belum memiliki kepercayaan diri
beserta datangnya kesuksesan kinerja yang telah berulang. Ya! Untuk memperkuat mereka yang
penuh keberhasilan ini, kita perlu memberikan waktu untuk memenuhi kebutuhan
psikologis. Mereka membutuhkan pengakuan
positif yang jelas untuk mencapai tujuan. Dan kita, para leaders bisa melalui para supervisor nya harus mendorong motivasi
sukses mereka untuk terus mengulangi
kinerja mereka yang performanya sudah bagus.
Akhirnya yang ke-empat, kita mempunyai Pekerja yang terdiri
dari orang-orang yang berhasil mandiri
dengan istilah bahasa Inggrisnya Self-reliant achievers.
Karyawan tipe ini sudah dapat memenej diri mereka sendiri.
Tetapi sekali lagi dan ini sangat manusiawi, karyawan yang mandiri beginipun
juga membutuhkan pengakuan agar mereka tidak merasa diperalat atau dimanfaatkan
dalam pengertian yang negatif. Secara teratur, kita harus berterima kasih
dengan cara yang tulus dan sistem memberikan insentif akan memberikan imbas lebih baik. Kasih
kesempatan para Self-reliant achiever melatih orang lain juga beri peluang untuk memilih tugas mereka sendiri atau
melibatkan mereka dalam proses membuat keputusan. Ketika kita mampu membuat
mereka lebih terlihat dalam organisasi, integritas dan loyalitas muncul lebih
dan lebih.
Kapan agenda terakhir teman-teman profesional melakukan
appraisal terhadap team kerja yang harus disupervisi?
Saya selalu percaya bahwa di dalam menejemen, perihal yang
paling sulit adalah mengelola SDM. Karena fakta-fakta psikologis harus terlibat
seperti misalnya latar belakang pendidikan dan kehidupan keluarganya ditambah
sosio kultur masyarakat dimana pekerja bawahan kita bertempat tinggal.
Please kabari saya saja kalau perlu bantuan Hospitality Consultant untuk membimbing karyawan Indonesia guna meningkatkaan karir karyawan untuk menjadi lebih berkualitas sambil membangun integritas dan loyalitas mereka. Sudah paham teknik-teknik appraisal kan?
Bali, 01 February 2020
Jeffrey Wibisono V.
Hospitality Consultant Indonesia in Bali – Telu Learning Consulting – Commercial Writer – Copywriter – Jasa Konsultan Hotel
Pertama-tama saya mohon ijin untuk
men-copas terlebih dahulu satu statement yang dimuat di traveltextini.
“Pariwisata kita terbangun atas
kearifan masyarakat dan budaya lokal pada tiap destinasinya, sehingga menjadi
daya tarik yang luar biasa bagi wisatawan. Ada keramah-tamahan khas yang
dirasakan para wisatawan dengan berbagai latar kultur dan agama,” kata
Wishnutama.
Lalu …..
Saya hendak membandingkan dengan Jepang
yang mengharapkan 40juta wisatawan
mancanegara (wisman) masuk pada tahun 2020. Momennya juga tepat karena pada
bulan Juli – Agustus, Jepang menjadi tuan rumah olimpiade musim
panas.
Lantas
apa yang ditawarkan oleh Jepang?
“Saat ini kami juga melayani wisman
dengan teknologi inovatif, pengalaman pengguna yang ringkas, serta penawaran
objek wisata lokal yang beragam yang disesuaikan menurut setiap pasar di
kawasan Asia Tenggara yang beraneka ragam, hadir dengan bahasa-bahasa setempat,
sejumlah metode pembayaran dan mata uang lokal. Dengan berkembangnya kalangan
FIT dan generasi milenial yang terus mencari aktivitas baru, Asia Tenggara
tetap menjadi salah satu fokus kami untuk ekspansi pariwisata secara
berkelanjutan,” kata Satoshi
Seino.
Saya menggaris bawahi Teknologi Inovatif.
Lalu apakah ini artinya Jepang
menggantikan Customer Servicenya dengan Robot?
Ya, Jepang sangat terkenal dan salah satu yang
pertama di dunia dengan teknologi robotik nya. Tetapi……
Ternyata orang Jepang melakukan teamwork dengan robotnya. Peran manusia
tidak tergantikan dan robot untuk membantu memberikan kenyamanan lebih dan
lebih untuk layanan publik.
Perlu kita sadari, Jepang memiliki
integritas customer service yang dipelajari oleh marketer dari seluruh dunia. Filosofi layanan ini terminologinya
adalah omotenashi.Roh dari
customer service ini asal muasalnya adalah implementasi dari “Ichigo
Ichi-e”, yang mempunyai makna “saya sangat bersyukur dapat bertemu dengan
anda. Karena itu, saya akan melakukan hal yang terbaik saat ini kalau-kalau
kita tidak dapat bertemu kembali”.
Ini seperti harus memenuhi permintaan
terakhir seseorang sebelum ajal tiba. Harus
delivered!
Lalu…
Apakah Jepang mempunyai
keramah-tamahan khas yang dirasakan para wisatawan dengan berbagai latar kultur
dan agama seperti yang diunggulkan oleh pariwisata Indonesia?
Apakah omotenashi ini sudah sebanding dengan yang selama ini kita unggulkan
dan banggakan?
Sementara
di wall Facebook saya sempat muncul
komen sindiran dengan referensi banyak kejadian negatif sehubungan dengan turis
versus penduduk lokal yang terekam
dan menjadi viral di sosmed. “Kalau di kita mah…tenang aja ini negara kaya raya…indah
mempesona…yg penting uang untuk kantong pribadi mengalir deras, jalanan mau
macet keq, turis di tipu keq…emang gw pikirin…begituhhhh”
Ini
menunjukkan anda dan saya sendiri belum puas terhadap sistem layanan di rumah
kita sendiri.
Saya
percaya akan aktualisasi wacana dalam
kalimat “Berbekal inovasi, kualitas SDM, dan penguasaan teknologi kita
bisa keluar dari kutukan sumber daya alam”.
Kalau
omotenashi adalah bagian dari
kurikulum sekolah di Jepang, maka Indonesia secara nasional harus mengejar kebutuhan
akan SDM unggul yang toleran, yang berakhlak mulia, yang terus belajar, bekerja
keras, dan berdedikasi. Perlu waktu berapa lama?
Kemudian
diikuti cita-cita untuk mewujudkan Indonesia menjadi pusat teknologi dan
inovasi.
Demi
pariwisata Indonesia sebelum tergerus oleh jaman, anda dan saya perlu
pemikir-pemikir dan pelaksana-pelaksana yang visioner.
Ini
loh sudah masuk revolusi
industri ke-4 yang kerennya disebut gen 4.0. dan sudah mencapai tingkatan IoT
(Internet of Things) dan IoE
(Internet of Everything) dimana instruksi dan operasional
pengendalian suatu modul sudah bisa menggunakan sensor suara temasuk mengendari
mobil tanpa hadirnya seorang sopir.
Lalu…..
Dimana
posisi pariwisata Indonesia?
Buat
saya keberagaman kearifan masyarakat dan keberagaman budaya lokal yang harus dipertahankan.
Tetapi harus ditingkatkan dengan dukungan teknologi untuk menembus dunia yang
sudah tanpa batas, sehingga disebut dunia maya. Dunia nyata yang imaginatif
seperti film
Avatar yang sangat sukses itu.
Bagaimana
caranya?
Di dalam penglihatan saya, saya sangat berharap pentas-pentas kesenian tradisional dilengkapi dengan teknolgi lighting dan Augmented Reality (AR). Sehingga menjadi live show yang 5Dimensi yang interaktif. Kalau sudah begini bolehlah kalau kemudian kita sebut Wonderful Amazing Indonesia.
Promosi Pariwisata Indonesia saya rekomendasikan mulai menggunakan Virtual Reality (VR) seperti yang akan dilakukan juga oleh Facebook bagi penggunalnya. Selain itu masih ada Apps yang terdengar sudah kuno buat saya. Biaya produksi apps bisa dibilang mahal dan masih ada kemungkinan teknologinya dikembangkan.
Palapa
Ring telah tersedia yang artinya ini salah satu bagian infrastruktur
teknologi yang disebut tol langit sebagai pendukung komunikasi dan transaksi
yang efektif dan efisien untuk semua lini bisnis dari Sabang sampai Merauke
dari Miangas sampai Pulau Rote. Proses jual beli bisa terjadi dalam hitungan
menit sampai detik.
Saat
ini yang saya mengerti, generasi milenial menghendaki banyak aktivitas baru, adventurous, mencari experience, travel light dan ini yang paling penting – liburan sambil bekerja
dengan istilah baru staycation,
workcation.
Kita
yang lebih dewasa menyebutnya Milennial
Disruption. Hahhaah…. kita merasa terganggu menghadapi perubahan
preferensi dan perilaku konsumsi anak dan cucu kita.
Nah
sekarang bagaimana mengantisipasi kelangsungan pariwisata Indonesia yang
selanjutnya akan di kelola dan dikembangkan oleh Generasi Milenial kelahiran
antara tahun 1981 sampai tahun 1994 dan iGeneration tahun 1995 sampai tahun
2010. Demikian pula usia wisatawannya.
Persiapan-persiapan
….. ini peringatan bagi Baby Boomer,
gen X dan gen Y.
Di
era ini, Gen Z dan iGeneration sangat tergantung dengan segala kemudahan suatu
sistem dan sudah menular kepada para orangtua-nya. Kesabaran semakin menipis.
Disuruh menunggu sebentar sudah ngambul dan
bilang ndak direspek. Sebentar kemudian sosmednya penuh dengan pelampiasan
pemikiran menuangkan emosi.
Lalu
apa jalan keluarnya?
Kembali
lagi ke implementasi teknologi dengan embel-embel “kemudahan” user friendly.
Dibutuhkan
dimana? Tentunya harus dimana saja dan disemua bidang usaha. Partisipasi
Teknologi yang inovatif untuk bekerjasama dengan manusia sebagai pengontrolnya.
Para
Pebisnis dan Pengusaha Restoran, Rumah Makan, Warung, Hotel juga sarana
pendukung pariwisata lainnya seperti Day-Cruise dan Taman Rekreasi sudah harus
paham mengenai market segment berdasarkan Geographic, Demographic, Psychographic
dan Behavioral. Pemahaman ini sangat diperlukan untuk berlangsungnya bisnis
jangka panjang dan menyediakan fasilitas yang tepat.
Fasilitas
apa?
Ya…
contohnya membangun Digital Hotel
dengan Pembayaran sistem Virtual,
sudah bisa check-in pada saat dalam
perjalanan menuju hotel dan masuk kamar dengan face detector. Memangkas beberapa masa tunggu. Untuk pengusaha,
dengan menggunakan virtual account, artinya cashflow
lancar.
On top of
semua-semua ide teknologi ini, pastinya juga kita masih tergantung dengan
birokrasi perijinan terhadap suatu badan usaha. Mestinya ini juga sedang
dikerjakan oleh pemerintah kita, beyond our knowledge sebagai pengguna jasa.
Akhir
kata
Sorry bro…
Saya secara pribadi suka dengan kata keberagaman
dibandingkan ramah ini ramah itu yang mengangkat perbedaan.
Karena buat saya keramah-tamahan khas
ini masih sangat abstrak dan menurut saya justru harus dibuat code of conductnya mengacu pada omotenashi-nya Jepang. Filosofi customer service yang bukan membanggakan
diri sebagai orang Jepangnya, tetapi memberikan pelayanan sepenuh hati.
Pertama saya hendak paparkan dulu usia generasi birokrat NKRI dan
usia generasi potential market traveler, pelancong dan wisatawan dunia saat ini.
Saya buat simple saja mengantisipasi
jangka pendek sampai lima (5) tahun ke depan.
Dari buku berjudul Mind The Gap yang ditulis oleh Graeme Codrington and Sue Grant-Marshall,
kita diajak mengenal karakteristik antar generasi. Kita dan generasi di atas
maupun di bawah kita, menemukan generasi
dan orang-orang yang berperanan membentuk hidup kita.
Apakah generasi birokrat NKRI
dari …. ?
Generasi
Baby Boomer kelahiran antara tahun 1946 sampai tahun 1964 dengan karakteristik peduli dan
peka terhadap perasaan orang lain (empati)
Generasi
X kelahiran antara tahun 1965 sampai
tahun 1980 dengan karakteristik orang tuanya mengajak untuk peduli dan peka terhadap perasaan orang lain (simpati)
Generasi
Y = Generasi Milenial kelahiran
antara tahun 1981 sampai tahun 1994 dengan karakteristik orang tuanya lebih
modern dan fokus pada hal-hal yang praktis dan instan. Waktu bersama antara
orang tua dan anak menjadi sedikit.
Generasi
Z = iGeneration = Generasi Internet
kelahiran antara tahun 1995 sampai tahun 2010 dengan karakteristik orang tua
hidup dengan gadget dan sibuk sendiri. Anak menjadi lebih individualistis.
Setelah anda dan saya memahami apa yang membuat kesenjangan generasi, maka inilah saatnya untuk mengubah pola pikir dan lebih jauh mempelajari kebutuhan generasi penerus (kita sebut potensial market traveler).
Dalam hal ini sudah sampai dari generasi baby boomer sampai ke usia produktif generasi milenial dengan dengan kesuksesan finansiil dan gaya hidupnya!
Fokus kepada pariwisata, generasi milenial sebagai traveler adalah easy going dan explore experience dan moment of truth nya adalah di digital camera dan sosial media.
Apakah generasi milenial mempunyai
ketertarikan terhadap arkeologi dan antropologi selain teknologi yang sedang
dalam genggaman mereka?
Salah satunya yang baru terwujud realisasinya
dan diumumkan oleh pemerintah secara resmi di
tahun 2019 ini, mengacu pada siaran Kemenparekraf tahun 2012 adalah
Mandalika. Kepikir kan itu adalah perencanaan yang dibahas dari 7 tahun lalu.
Artinya, bukankah semua program pemerintah itu berkelanjutan berkesinambungan walau
harus gonta-ganti presiden juga jajaran para menteri pelaksananya dengan
prestasi masing-masing?
Ini adalah adalah struktur tata
kelola destinasi pariwisata yang mencakup
perencanaan,
koordinasi,
implementasi,
dan pengendalian organisasi destinasi
secara
inovatif
dan sistemik
melalui pemanfaatan
jejaring,
informasi dan teknologi,
yang terpimpin secara terpadu
dengan peran serta
masyarakat,
asosiasi,
industri,
akademisi
dan pemerintah
dalam rangka meningkatkan
kualitas
pengelolaan,
volume kunjungan wisata,
lama tinggal
dan besaran pengeluaran wisatawan
serta manfaat bagi masyarakat
di destinasi pariwisata.
Wis ini saja dulu deskripsinya.
Lalu bagaimana tata kelola,
monitoring dan tolok ukur pencapaiannya untuk wilayah tingkat Lokal, Regional
dan Nasional?
Bisa dipastikan kegiatan
membentuk dan mengelola serta menyempurnakan destinasi melalui suatu proses
yang berkesinambungan. Perihal ini untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
bersama dengan pemasaran dan diplomasi pariwisata. Antara lain dengan
menjalankan prinsip-prinsipnya yang bersifat multisektoral dan multi dimensi di
dalamnya merujuk pada berbagai indikator yang telah ditetapkan.
Tentunya dalam
perjalanan DMO ini ada perubahan-perubahan disesuaikan dengan zamannya.
Di tahun 2019 ini pergeseran perilaku bisnis telah
berubah. Tahu-kan beberapa gerai supermarket jaringan nasional seperti Hero,
Matahari sudah tutup? Mengapa?
Salah satunya karena convenient
store nya ada di hape masing-masing. Pesan, Bayar, Terima Barang tanpa
meninggalkan tempat. Apalagi sampai harus buang-buang waktu ngantri di kasir
supermarket seperti sampai beberapa tahun lalu.
Entah, saya sudah lupa tahun berapa terakhir kali saya belanja di
supermarket dan masih rela mengantri untuk membayar barang belanjaan di kasir.
Bulan Oktober lalu, saya mendapat hashtag/ tagar dari
mentor Digital Marketing saya yaitu #GoOnlineOrGoAway. Disini, manusia harus
teamwork dengan robot. Bukan robot menghilangkan manusia. Kalau dulu jam kerja
disebut 9/5 sekarang menjadi 24/7. Dari sebutan diajari out of the box, sekarang
saya berani membuat terminologi baru no box.
Perlu kita ketahui perilaku dan preferensi generasi milenial
telah mengubah zaman begitu drastis. Beberapa kriteria industri dan produk
menjadi tidak relevan dan telah musnah dimakan zaman dalam waktu yang sangat
singkat. Seperti kisah dinosaurus. Nyata,
beberapa profesi baru telah eksis dan sebagian telah dihapuskan.
Apakah industri pariwisata akan musnah?
Hati-hati, sekarang di banyak mall di seluruh dunia telah
diperkenalkan tour keliling dunia dengan Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality
(AR).
Bahkan dengan lantang anak teman saya bisa menjawab
“Bisa, saya bisa berenang kok!” dan saya syok ketika mengetahuinya si anak
teman saya itu belajar berenangnya di ….. “GADGET!”
Halu sekali bukan???
Lalu apakah polemik destinasi pariwisata dengan
label ramah ini, ramah itu masih perlu di pertajam?
Dan pertanyaan saya apakah yang ramah ini ramah
itu adalah yang memang diperlukan oleh target market generasi milenial dan yang
segera akan disusul generasi alpha?
Tugas birokrat, semua perencana, semua pembuat
keputusan dan pengemban kebijaksaan adalah menyiapkan masa depan bagi generasi
penerus industri pariwisata nasional.
Well…. dari hitungan usia populasi Baby Boomers dan Gen-X akan semakin surut dan berkurang.
Dan bisa jadi suatu saat akan punah.
Lalu apa peninggalan anda dan saya yang saat ini masih berada dalam lingkup
generasi ini?
Ayo, kita bikin emergency red code! Ini bisa kita menurunkan ilmu ke generasi milenial atau bahkan menimba ilmu dari generasi milenial dalam hal cara berbelanja online maupunmengonsumsi pengalaman (experience dan leisure).
Mari kita temukan their want and their need.
Kita semua tahu kan generasi
milenial ke mall bukan untuk
berbelanja barang, tapi cuci mata, nongkrong dan dine-out mencari pengalaman
penghilang stress.
Hospitality adalah jasa layanan, dan pariwisata adalah bisnis manusia dengan experience seutuhnya yang sangat personal. Setiap individu ingin dan mendapatkan experience yang ber-beda-beda di dalam memorinya. Dapat diketahui dari lontaran cerita tamu-tamu kita masing-masing, walaupun yang kita layani adalah satu keluarga.
Bali, sebagai destinasi wisata utama di Bulan Oktober dan November 2019 ini banyak yang mengeluh sepi atau pencapaian pendapatan di bawah budget dan target. Saya berharap bisa mendapatkan data untuk analisa. Apakah ini sudah masuk ke tahap ini kondisi “bearish berkelanjutan” sebagai dampak terbentuknya “new normal” perekonomian kita yang melesu dalam jangka panjang. Maaf saya meminjam istilah perdagangan forex yang mempunyai istilah siklus “bullish-bearish”.
Di dalam pekerjaan, saya sudah
sangat sering berbicara dengan generasi milenial yang menuntut fleksibilitas dalam bekerja dan menuntut pola kerja remote working, flexible working schedule, atau flexi job. Dan
minta gaji di atas rata-rata yang telah diperhitungkan perusahaan. Dengan
alasan pendidikannya tinggi dan mereka smart. Tren ke arah freelancer, digital nomad atau gig economy kini kian menguat.
Sampai disini saya punya hashtag #smile #nelenludah
Saya ini pengen melanjutkan karir
saya di industri hospitality dan
pariwisata. Bersaing dengan generasi milenial dengan peristilahan workcation
(kerja sambil liburan). Melakukan kontrak kerja berpindah pindah misalnya 3
bulan di Bali, 3 bulan di Jakarta, 3 bulan Dubai dst. Apakah masih bisa kita menuntut loyalitas dan
integritas karyawan? Saya pikir ini bisa saya kembalikan kepada penyedia
lapangan kerja dan kelahiran generasi apa-nya.
Di zamannya, saya disebut kutu
loncat, karena seringnya pindah-pindah kerja.
Selamat datang masa depan
pariwisata Indonesia. Bali dengan lima Bali barunya.
Siapkah generasi baby boomer dan generasi X Indonesia menghadapi Era Disrupsi Ekonomi
Digital dan Revolusi Industri 4.0 ?
Karakter, Mindset, Wawasan dan Skillset
apa yang dibutuhkan untuk estafet dengan generasi milenial dalam urusan
Indonesia adalah destinasi pariwisata budaya dan perlu dilestarikan?.
Urusan pariwisata budaya dilestarikan,
boleh tidak di VR (Virtual Reality) –
kan?
Saya mengambil fakta generasi milenial Bali sekarang dengan latar belakang keluarga petani yang maunya bekerja di hotel.
Sehingga jumlah petani tradisional menjadi sangat minimum. Demikian juga lahan pertaniannya telah berubah fungsi. Menjadi gedung-gedung atau sentra bisnis lainnya.
Maaf, ini saya jadinya seperti mempunyai dan membangun wild dream!
Saya ingin tahu berapa orang-kah profesional tour guide dari golongan usia generasi milenial di Bali pada saat ini?